Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Padi, Petani, dan Tumbal Peradaban

9 Juli 2021   10:58 Diperbarui: 9 Juli 2021   11:00 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: mediaindonesia.com

Belum pembayarannya sendiri petani harus bersabar karena memang pembayarannya masih dituggak oleh pengepul. Sebagai contoh ayah saya yang sampai saat ini belum menerima hasil penjualan padinya masih ditahan oleh pengepul uangnya. Disitulah masalah yang terjadi bagi petani bukan hanya ayah saya tapi juga sebagaian petani lainnya.

"Jika sudah menjumpai masalah seperti itu, dari pada padi menumpuk dirumah, meski harganya sendiri jatuh merupakan pilihan yang mau tidak mau harus dilakukan petani yang tetap harus menjual gabahnya".

Membicarakan tanaman padi, saya ingat sebuah perumpamaan, banyak pribahasa bahwa filosofi padi sendiri digunakan untuk manusia menyelami sikap rendah hati manusia yang sebenarnya bernilai.

"Pribahasa bijak itu berkata: tirulah sikap tanaman padi yang semakin berisi, ia akan semakin menunduk dan menjadi seorang yang bajik harus tetap rendah hati".

Tetapi apakah pribahasa padi tersebut juga tidak bisa menjadi dalih bahwa apresiasi padi sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia juga harus dihargai sama seperti filosofinya yang banyak digunakan oleh manusia untuk jalan kemuliaan hidupnya, dalam hal ini mengapresiasi padi, petani, dan tenaga pertanian?

Memang begitu besar jasa pertanian yang ada di indoneisa bahkan dunia sebagai pioneer kesejahteraan umat manusia. Tetapi mengapa petani sendiri selalu saja digilas oleh peradaban yang selalu saja pertanian menjadi tumbal? Permintaan akan bantuan covid-19, dimana beras menjadi bahan utama bantuan, seharusnya permintaan akan beras sendiri dimasa-masa covid-19 ini mampu menyetabilkan harga gabah. Namun keadaan itu justru sebaliknya tak mampu menyetabilkan harga gabah.

Tidak dipungkiri, petani sendirilah yang menyumbang besar segenap kegagapan ekonomi yang sedang berlangsung dimasa pandemic ini. Turunya harga gabah setidaknya membantu mereka yang keadaan ekonominya sulit dengan beras murah. Apakah beras dipasaran sudah murah dengan harga gabah murah? Jika sudah, petanilah yang patut diapresiasi.

Namun jika beras sendiri masih mahal, disitulah letak permasalahaanya oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. Sudah pasti petani disetaip masanya selalu menjadi tumbal peradaban, bahkan yang selalu terkalahkan, biaya produksi tidak sesuai dengan hasil produksi itu sendiri tetapi kemuliaan dari jiwa petani tetap menggarap pertanian meski minim keuntungan untuk dirinya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun