Apakah saat ini orang-orang benar sangat kurang bahkan mendekati krisis dalam memaknai dirinya sendiri dengan segala pencapaian apa yang bisa dicapainya? Mungkinkah hidup dengan penghargaan itu adalah milik orang lain bukan milik kita sendiri, dimana belum berharga ketika belum ada pengakuan dari orang lain?
Inilah pertanyaan besar abad 21, abad dimana tekonolgi menjadi bagian dari eksistensi kita yang terus dipertontonkan banyak pencapaian-pencapaian orang lain dimedia social masing-masing. Â Saya rasa saat ini, hidup kita ini keberhargaannya dipegang orang lain lewat social media atau kondisi posisi structural masyarakat yang mungkin dianggap sudah mapan dan itu disampaikan oleh pesan-pesan media.
Sebagai suatu contoh yang real didepan mata kita, dimana menjadi perbicangan hidup sehari-hari diabad ke 21 ini. Saya ingin mencontohkan kisah Andi Purnomo (28) tahun yang tentu bukan nama sebenarnya, dimana dirinya begitu insecure terhadap dirinya sendiri ketika dirinya ingin mencari pendamping hidup dengan kondisi apa yang telah dicapainya saat ini.
Menurut saya, Andi sendiri merupakan orang yang punya propose dan punya tujuan hidup yang jelas, bagiamana dirinya membawa diri sendiri begitu optimal dengan sumber daya dari keluarganya yang memang secara taraf ekonomi sendiri kelas menengah kebawah pedesaan. Andi sudah dapat bekerja di Perseoran Terbatas dan menjadi karyawan sungguh itu adalah pencapaian yang baik.
Sebab tidak dipungkiri, factor kelas saat ini, secara garis besar berkontribusi dalam status social menjadi apa seorang tersebut. Banyak fakta di desa-desa yang menjadi aparature Negara baik dari kalangan sipil atau militer didominasi oleh kelas ekonomi atas dikalangan masyarakat desa, tentu karena kelas ataslah yang dapat mengakomodasi kepentingan mereka sehingga mampu mengoptimalkan dengan sangat baik potensi terbaik dalam structure masyarakat.
Tetapi lagi-lagi ketika Andi membandingkan dengan diri-diri yang lebih dari dirinya sendiri, dimana saat ini melihat pencapaian orang lain dimedia merupakan aktivitas sehari-hari dan sepertinya media social tidak pernah lepas dari gengaman tangan manusia melalui smart phone.
Ketika dihadapkan pada pencapaian orang lain, Andi tidak menghargai dirinya sendiri yang dikelasnya disudahlah optimal dalam pencapaiaanya. Banyak justru yang taraf ekonomi keluarga sama dengan Andi terseok-seok menjadi pengangguran, bahkan banyak dari mereka tidak tahu apa potensi diri mereka.
Namun dengan Andi adalah orang yang berbeda, dimana sisi dirinya dalam pembaharuan pengetahuan sendiri membawa Andi saat ini juga punya sebuah tujuan lain dari hidup melalui passionnya yakni menulis yang secara tidak langsung menambah nilai hidupnya.
Memang dengan potensi diri seorang manusia, itu tidak terikat pada ekonomi yang hanya bersifat sebagai akomodasi melainkan potensi diri dicari dan dikembangkan oleh dirinya sendiri dan itu adalah tantangan bagi sebauah pencapaian hidup setiap manusia.
Tetapi realita yang sangat miris saat ini membandingkan diri dengan orang lain adalah batu sandungan diri manusia menghargai dirinya. Seperti Andi yang masih saja insecure dalam memandang pencarian pasangan hidup meski secara tidak langsung dirinya juga mempunyai nilai pencapian yang optimal didalam kelas sosialnya yakni kelas ekonomi menengah kebawah.
Andi terus saja membandingkan bagaimana sempurnanya jika dirinya seperti orang lain yang secara ekonomi maupun structural masyarakat dipandang tinggi saat ini seperti ASN dan sebagainya yang lebih mentereng dari karyawan biasa perseoran terbatas dalam memandang hidup berpasangan.