Dalam sebuah ruang yang tersimpan, tembok-tembok itu bak bui yang pada saatnya akan rontok dimakan usia. Suatu ungkapan yang harus disiasati betul, bawasannya tidak ada gading yang tidak retak. Semua menunggu masa seperti pohon itu, yang ada saat berbuah dan ada saat dia akan tumbang mati tersambar petir atau ditebang oleh manusia, tidak menutup kemungkinan pohon itu akan lapuk termakan usai dan keropos.
Bab memahami diri sebagaimana manusia, memang susah-susah gampang. Bagaimana kemapanan dalam diri yang terus disandingkan pada mood, pada pengakuan atas diri, yang tidak sedikit harus pula diri harus diakui oleh persepsi orang lain.
Tetapi dari dasar sebuah pengakuan itu, rasa hormat pada diri sendiri merupakan rasa haromat tertinggi kita sebagai manusia. Mungkin ketika diri terus diperosotkan pada sebuah krisis hidup yakni sebuah keadaan yang tidak diinginkan oleh diri. Sepeda yang paling mahal sekalipun itu tidak akan bernilai ketika tidak ada persepsi menilai sepeda itu bernilai.
Sekan menjadi persepsi yang jungkir balik, sama halnya manusia itu memandang mana kebahagiaan dan mana penderitaan yang nyata bagi hidupnya. Air laut itu asin dan sisi keasinan itu sebenarnya adalah identitas yang melekat pada laut itu sendiri. Dan tentu manusia itu harus sadar bawasannya dibalik semua kekurangnyanya dan kelebihannya adalah identitasnya sendiri.
Saya rasa begitu juga diri-diri manusia dalam memandang identitas, yang kesemuanya mentok pada persepsinya masing-masing atas dasar pengakuannya masing-masing. Namun apakah kita hanya dapat melihat diri dari sudut pandang kita sendiri saja dalam mengikuti gravitasi hidup yang naik dan turun pada rasa-rasa manusia itu sendiri?
Ini memang seperti tidak terlihat, bayangan gaib dari setan-setan penunggu gunung-gunung bak bayangan imajiner yang selalu hadir dalam setiap imajinasi kita. Begitu pula dengan keburukan-keburukan kita yang dipersepsikan terus menerus sebagai sebuah kekurangan diri yang semu. Apakah benar keburukan itu ada dalam diri setiap manusia, bukan bagian dari identitas saja sama halnya sebuah kelebihan yang melekat?
Kelebihan dan keburukan sendiri hanyalah sebuah citra dari manusia. Bayangan akan ketakutannya, ingin menyenangkan orang lain, bahkan menghindari untuk dibenci oleh orang lain. Pemikiran seperti itu memang tidak pernah akan ada habisnya. Namun bagaimanakah cara agar kita dapat berdamai dengan segala persepsi tersebut?
Maka izinkan saya untuk membuat suatu metafora, ranting-ranting dari pohon memang terlihat seperti rapuh jika dibebankan pada beban yang berat. Bukankah dibutuhkan ranting yang kuat untuk dapat menahan beban berat itu?
Sungguh itu seperti halnya mental manusia yang terus terbujur kaku bila kerapuhan menjadi focus utamanya, bukan pada latihan-latihan menguatkan diri bagaimana diri ditempa banyak suatu masalah. Untuk itu, apakah hidup manusia harus mencari masalah? Sebenarnya tanpa dicari manusia sendiri adalah masalah bagi dirinya sendiri.
Ketika dirinya memandang hidup itu sendiri, ia akan berkutat pada pikirannya, yang dalam menimbangnya akan menjadi masalah. Semakin manusia itu berpikir, semakin ia melahirkan masalah-masalah baru. Bukankah dengan berpikir itu juga harus menemukan sebuah solusi dari masalah pemikirannya? Inilah yang terkadang dilupakan, manusia butuh melupakan masalahnya dan tidak memikirkannya lagi untuk tidak bermasalah.
Sesegugan hidup harus diakui adalah masalah, pikiran kita bermasalah, ditambah pikiran orang lain juga adalah masalah bagi mereka. Atas dasar itu pengakuan-pengakuan pada suatu hal pada ujungnya akan dilanda masalah. Seperti ranting pohon yang dibiarkan mengering, ia akan keropos bila tidak ada sumber-sumber yang dapat menguatkannya.