Pada akhirnya, memandang segala sesuatu yang hilang memang tidak akan segampang memandang suatu yang datang.
Ibaratnya kehilangan, terkadang butuh sesuatu untuk merelakan. Maka dengan kerelaan kita dalam memaknai kehilangan itu sendiri sebagai manusia.
Mungkinkah kita akan benar-benar dapat menyadari berbagai kehilangan hidup yang ada dan terjadi dalam diri kita?
Perkara nasib, ataupun dengan apa yang kita punya dalam hidup ini, bisa saja kita sebagai manusia tidak dapat melepaskan itu.
Sebab melepas sendiri, bukan hanya butuh kerelaaan hati, tetapi dilain sisi manusia juga butuh latihan dalam melepas itu sendiri apa-apa yang menjadi ikatan dirinya tersebut.
"Keterikatan pada sesuatu adalah bagian dari hidup manusia, yang jika dipikir sendiri, tidak semua manusia mampu terbebas dari belenggu pikirannya sendiri yang melekat pada sesuatu".
Apakah hidup ini selain dari kita belajar untuk bertumbuh, juga sepatutnya kita belajar untuk melepas ketrikatan yang ada? Lagi-lagi kita sebagai manusia harus belajar pada tokoh-tokoh spiritual yang lebih dahulu lebih tercerahkan dari pada diri kita.
Dimana hidup mereka selalu dipenuhi dengan kekuatan batin yang kuat dalam memahami kehidupan itu sendiri, sebagai orang-orang yang mampu melepas dan membangun sesuatu yang baru berkat adaptasi yang dilakukan untuk hidupnya.
Untuk itu, saya ambil contoh bagaimana pangeran Sidharta Gutama sendiri yang hidupnya telah mapan dan dirinya merupakan putra mahkota, dipastikan akan menjadi raja di salah satu kerajaan yang besar di india sana.
Tetapi mengapa, ia sendiri memilih hidup sebagai seorang pertapa dan melepas semua bentuk-bentuk keduniawaian yang ada?
Memang jika dipikir secara hitung-hitungan rasionalitas pikiran memang serasa keputusan tersebut salah, mungkinkah manusia dalam berkeputusan hanya menimbang pemikiran rasional bukan keputusan dari dalam hatinya sendiri juga pada akhirnya?
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!