Berkaca dari dibubarkannya FPI sendiri oleh pemerintah pada (30/12/30) yang lalu tentu dipengaruhi oleh hukum yang berlaku dalam Negara demokratis itu sendiri.
Seperti diungkapkan oleh Mahfud MD, salah satu pembubaran FPI sendiri diakibatkan oleh tidak adanya kedudukan hukum sebagai organisasi karena Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI telah habis Juni 2019.
Tetapi yang menarik dari pembubaran FPI adalah mungkinkah eksistensi FPI tidak akan pudar oleh pembubarannya sendiri yang dilakukan pemerintah?
Seperti diketahui FPI juga langsung mengganti namanya pasca dibubarkan oleh pemerintah menjadi Front Persatuan Islam.
Menanggapi nama baru FPI sendiri dalam berserikat mengganti nama pasca dibubarkan, saya sendiri sebagai warga Negara berpendapat pergantian nama FPI sendiri sangat wajar dan memang Negara demokratis harus memfasilitasi itu apapun bentuk masyarakatnya berserikat.
Namun ajakan yang dilakukan oleh GP Ansor sendiri untuk merangkul ex FPI sangat patut diapresiasi sebagai organiasi yang telah dibubarkan oleh pemerintah untuk bergabung bersama melanjutkan perjuangan.
Seperti diketahui Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor, Mohammad Haerul Amri, berpendapat cara mengajak bergabung itu bisa menjadi jembatan terbaik dan bisa menghindari aksi-aksi yang tidak dibenarkan.
Tentu berkaca dari sisi kontroversi FPI yang dilakukan selama ini seperti sweeping dan lain sebagainya yang dipandang public sering membuat kegaduhan.
Haerul berujar, saat ini ada banyak ormas Islam yang bisa dijadikan wadah baru bagi para mantan anggota FPI, di antaranya Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah yang memiliki pandangan islam moderat.
Mungkinkah titik temu dari dibubarkannya FPI oleh pemerintah yakni menerima ex FPI untuk berlabuh pada ormas-oramas lain seperti GP ansor yang sama-sama mempunyai latar belakang ormas islam?
MUI atau Majelis Ulama Indonesia sendiri juga meminta soal pembubaran FPI untuk dapat sama-sama membina, merangkul, dan bukan memukul untuk menciptakan keadaan yang kondusif di tengah masyarakat.