Berbicara tentang kebahagiaan sepertinya ia nyata dan tercermin ketika manusia sedang berada dalam perenungan waktunya. Memang berkaca kepada kata yang "berbahagia", bukanlah sesuatu yang sederhana, terkadang ketika sesuatu belum pernah dirasakan dan dialami oleh manusia, "suatu" titik itu tidaklah akan membuahkan kebahagiakan bagi hidup manusia.
"Kebahagiaan yang sejati merupakan suatu keadaan, baik perjalanan atau pencapaian yang sudah dilalaui. Tentang karya, pengalaman perjalanan hidup, dan pencapaian-pencapaian yang sudah dapat manusia capai diwaktu kehidupaanya itulah sumber nyata kebahagiaaan bagi manusia yang mencarinya".
Karena sesuatu yang belum terwujud didalam kehidupan manusia, ia tidak akan pernah menjadi kebahagiaan--- bahagia adalah mampu mewujudkan ide kehidupan dan setiap jawaban dari renunganya: "sumber dari rasa bahagia sebagai manusia"Â
Memang menjadi ilusi besar disana tentang orang-orang yang menganggap bahwa; bahagia disempitkan dengan romansa akan cinta dalam arti sempit yakni; berasmara antara dua sujoli pria dan wanita. Tetapi apakah benar cinta bagi sujoli yang berasmara akan membahagiakan secara terus menurus?
Tentu ini bukanlah pertanyaan yang secara pasti dapat dikatakan "iya". Karena banyak cerita disana orang-orang yang katanya menderita juga karena cinta, maka sering kali menjadi judul film-film romatik menjual penderitaan cinta itu sendiri.
Mengapa mereka menderita? Karena cinta sedikit agak rancu bagi saya? Mungkinkah betul cinta yang belum termanifestasi oleh dirinya benar-benar juga akan membuahkan penderitaan? Sesuatu itu, memang yang tersisa hanyalah sebuah pertanyaan, terlebih saya sendiri belum pernah merasakan membangun cinta tersebut bersama dengan wanita, apakah mungkin manusia dapat menderita karena cinta?
Tulisan karya Nietzche "Zarathustra" sendiri mengatakan dalam tulisannya: "menjelang pagi tiba, "Zarathustra" tertawa kepada hatinya dan berkata ironis, "kebahagiaan mengejarku, itu karena aku tidak mengejar-ngejar wanita. Padahal kebahagiaan adalah seorang wanita".
Saya berpikir memang ini paradoks dari kontradiksi hidup itu. Manusia dapat menjadi dirinya dan mengenali segala potensi hidupnya itu karena ia menjadi sendiri dan membangun apa yang ingin ia bangun tanpa fiksi dari bahagia yang banyak orang sandarkan kepada wanita.
Tetapi apapun itu seorang pria memang butuh wanita, karena tanpa wanita didalam hidup pria, bukan saja akan hambar, tetapi akan ada ruang kosong yang hampa, manusia ini, mau jadi apa tanpa wanita?
Bahkan dalam segala bentuk kelahiran mereka, bukankah ia "manusia" lahir juga dari rahim wanita? Maka mau menjadi apa manusia tanpa wanita? Perkara menjadi bahagia, bukankah kebahagiaan dari pencapaian itu karya yang telah dibuat dan diapresiasi? Mungkinkah sesuatu itu bukan bentuk suatu kebahagiaan manusia? Sepertinya memang benar, kata bahagia  tidak dapat terukur, tidak dapat pula saling  mengukurkan diri bagaimana secara "pasti" berbahagia itu bagi manusia.
Bahagia bagi saya mungkin adalah proses---- proses dari memaksimalkan potensi dirinya sendiri, yang manusia bangga akan apa yang telah dicapainya untuk setiap "sesuatu" yang telah diperjuangkan dengan keringatnya sendiri.