Sebenarnya tidak ada yang lebih menyulitkan dari bermain rasa untuk menjadi sebuah karya untuk hidup manusia. Sebab semua rasa yang hadir terkadang tidak untuk diketahui oleh siapapun juga, termasuk dirinya sendiri bersama dengan berbagi kepiluan hidupnya.
"Ketika kalian diingini, bagaimana rasa kalian memberi tahu? Namun ketika kalian tidak diingini, bagaimana rasa kalian meredam semua itu?
 Angan dan pikiran termasuk segala bentuknya seperti lebih baik dilepas saja dari ingatan manusia. Karena bukan apa, pikiran dan keinginan merupakan ganjalan dari berbagai penderitaan hidup manusia, sebab dari sana, menjadi manusia tidak akan pernah selsai riwayatnya walaupun dengan kata-kata.
Manusia dan berbagai perasaannya, ia bukan hanya hidup, tetapi mati secara bersamaan diruang yang sama pula pada akhirnya.Â
Terkadang yang dalam uangkapannya mempesona hati, ia sendiri tidak tahu akan keterpesonaannya itu. Panasnya siang ini, seperti tanda dalam ada, "kita semua si mahkluk yang menderita sebagai satu dari banyak manusia yang ada hidup dalam zona yang terpendam perasaannya sendiri".
Tetapi mengapa dengan berbagai imajinasi itu, bukankah nyatanya manusia lebih indah dari relaitas itu sendiri, yang terkesan didalam rasa untuk menjadi lebih baik tidak mau buruk jika dirasa-rasa keberadaanya oleh dirinya sendiri saja?
Sebagai manusia yang berangan memang semua yang terjadi serba untuk diharapakan. Siapa yang tidak ingin semua terjadi secara "pasti" dengan yang terharapkan sebelumnya?Â
Bukankah semua manusia menginginkannya? Imajinasi memang selalu tidak dapat menunjukan ketidakadilan itu, ada kalanya ia hanya padai membohongi realitas yang pikiran maunya menutupi penderitaan, tidak menyelsaikan penderitaan.
Mengapa dan selalu mengapa? Tentang ilmu yang tinggi harus dikejar manusia sebagai jembatan dari kesadarannya menjalani hidup ini.
Terkesan sederhana memang "sembah pada rasanya sendiri sebagai manusia". Nestapa dan bahagia, haruskah saya sendiri gambarkan disaat debu-debu ini saling berterbangan searah dengan mata angin?
Lalu bagimanakah dengan nasib yang diimpikan oleh imajinasi kemudian berbanding terbalik dengan realitas? Mungkinkah dapat selalu terperbaiki? Dalam diam saya terus berkontemplasi menghayati hal ini.