Apa yang saya sendiri sangka dari sebuah ilmu ikhlas--- dasar dari ketidak iklasan manusia merupakan bentuk suatu kecemburuan satu manusia dengan manusia lainnya.Â
Mengapa demikian terlihat jelas dari rasa kecemburuan? Adalah dampak apa-apa yang mereka terima ketika sama-sama melakukan sesuatu secara bersama-sama, tetapi dampak yang dirasakan berbeda antara satu dengan lainnya.
Perkara keikhlasan adalah perkara keadilan yang harus dirasakan setimpal dengan perjuangannya masing-masing. Jangan ketika sama-sama berjuang tetapi memanfaatkan perjuangan tersebut hanya untuk kepentingannya sendiri, mencari segenap untung dengan mengorbankan orang lain yang sama-sama telah berjuang.
Ketika jalannya sebuah perjuangan bersama sendiri pincang, tidak mungkin apa yang dinamakan ikhlas untuk waktu yang lama mengusahakan sesuatu tanpa hasil akan terus dilakukan oleh setiap manusia.
Memang hidup adalah perjuangan tetapi apakah tidak menjadi penting ketika manusia sendiri tidak menentukan dalam setiap afirmasinya dalam segenap usahanya? Kapan saatnya berjuang dan kapan saatnya menikmati hasil dari setiap perjuangan yang telah mereka lakukan?
Tanpa hasil yang dapat dirasa dari sebuah perjuangan bersama, bahkan janji-janji tetapi tidak tahu kapan "janji" tersebut akan terealisasi sebagai sebuah pengharapan, hanya menjadi wacana nanti: "ini waktunya berjuang namun tidak menentukan waktu dalam perjuangan menikmati hasil perjuangan" itu akan sama saja tidak akan membuat manusia ikhlas tergerak.
Manusia hidup butuh sesuatu yang dapat mengakomodasi hidup seperti hasil dari usaha untuk kemudahan hidup tetapi tidak ada--- tidak akan pernah manusia itu akan bela sampai kapanpun walaupun dirinya mengerti apa artinya "ikhlas" berbuat sesuatu sebagai nilai untuk hidup dalam kebersamaan.
Terus terang untuk menjadi "ihklas" tidak mendapat apa-apa dalam memperjuangkan sesuatu untuk bersama dengan waktu yang lama saya memang belum mampu. Mungkin sesekali sebagai bakti sosial tanpa terikat dan suka rela membantu itu bukan soal, itu pun jika memang apa yang telah dibantu sebagai usaha non profit, tetapi ketika ada "profit" umpan balik adalah sesuatu yang harus dipikirkan sebagai keberlangsungan perjuangan manusia.
Kecuali memang melakukan sesuatu itu sebagai sebuah hoby dan kebanggaan akan karya yang dibuatnya sendiri, saya kira setiap orang akan mampu untuk melakukan itu secara tarus-menerus, itupun ketika kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi, aktivitas tersebut pasti hanya sesekali dilakukan karena bagaimapun hidup lebih penting melakukan sesuatu "kerja" untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.
Untuk itu dalam realita, Ikhlas hanya sebuah fiksi, tidak mungkin ada kata "ikhlas" jikalau manusia memang masih hidup didunia dengan mudah akan ia lakukan sebagai perjuangan dan tidak menjadi pertanyaan dalam pikirannya kapan hasil dari perjuangan itu akan dirasakan.
Bahkan seorang aktivis politik, ataupun gerakan-gerakan kemanusiaan, yang didalam wacana narasinya membela rakyat, didalam pikiranya dan hatinya pasti membidik posisi kuasa dalam sosial-kemasyarakatan. Terkecuali pertapa yang sudah tidak bersentuhan dengan dunia, tidak akan ada manusia yang mampu benar-benar "Ikhlas".