Seyogianya apa yang perlu diingat dalam menjadi pribadi manusia? Kompleksitas merupakan bagian di mana manusia itu dilahirkan. Terkadang keadaan atau sifat-sifat yang mereka jalankan sebagai manusia sendiri tidak dapat menyadarkannya.
Terlihat memang ia "manusia" ingin baik dan mungkin "dicintai" oleh manusia lain, tetapi apakah perspektif orang lain dapat menjadi sebuah pijakan dalam ukuran menjadi diri manusia itu sendiri?
Tentu semua manusia terlahir sebagai autentik dirinya, dan sepertinya konsekuensi memang memilih dalam menjadi satu manusia. Jika manusia punya cara bersikap atau sifat itu; di sisi lain ia tidak punya sikap-sikap lainnya. Karena bukakah menjadi manusia tidak dapat menjadi sempurna (komplet)?
Setidaknya itulah pendapat dari manusia-manusia yang sifat dan sikapnya diagungkan dan cara hidupnya ditiru oleh banyak orang saat ini melalui lembaga-lembaga.
Manusia dan penderitaan, mungkinkah karena itu ia mengejar suatu kebahagiaan? Seperti yang dapat kita lihat disudut berbagai media sosial sana, semua orang terlihat menginduk dengan minat-minat yang mereka inginkan demi mencari kebahagiaan mereka.Â
Manusia bermain game, mengikatkan diri pada komunitas seperti motor atau mobil, juga pada agama yang mereka anut keberagamaannya. Tentu semua mengejar mempunyai arti dan bahagia sebagai manusia melalui berbagai kegiatan yang menyenangkan bahkan menentramkan hati.
Tidak lebih manusia hidup hanya untuk menyadari apa yang kurang dari dirinya dan yang tidak dapat mereka wujudkan. Jelas, di sini supaya timbul kesadaan akan ketidaksempurnaan itu menjadi manusia. Bahwasanya di setiap kekurangan manusia tersebut; di sana pasti ada titik kebanggaan dan kebahagiaannya sebagai manusia.Â
"Manusia kurang karena ia punya kelebihan dan sebaliknya".
Maka tidak lebih menjadi manusia dari kisah-kisah para yang dianggap suci itu, atau para pertapa yang dinilai mempunyai kecakapan batin dalam menjadi manusia menanggapi: bagaimana sebenarnya menjadi manusia? Tanpa takut? Gelisah? Bahkan khawatir pada dirinya sendiri?
Dan karena kebijaksanaan dalam menangapi fenomena menjadi manusia itu sendiri tidak jarang: mereka teranggap sebagai guru oleh manusia lain untuk menjadi jalan penerang yang sama-sama menerangi.
Bukankah dalam akan mencapai titik tersebut sebagai manusia suci yang menerangi batin sendiri mereka harus mengasingkan diri dari manusia lain dan berkelana mengenal selain manusia?