Dibuat bertanya lagi, namun bukan pada apa realitas yang ada di depanku, bagaimana aku memandang mereka, seperti ada konsep yang harus ditanggalkan bahwa; "aku tidak sepantasnya mengharap", apa lagi dihadapkan pada setiap pemikiran-pemikiran ini, yang "aku" sama sekali tidak pantas memikirkannya.
Berlalu dan semakin berlalu, merupakan acuan realitas waktu, namun apa daya bagi manusia, seperti mimpi, ia tidak akan pernah terbagi selanjutnya. Dalam khayal ini, semua memang membagi, bukan membagi karena ajaran kemurahan hati, tetapi niat sebagai manusia itu sendiri yang mendasari, karena sejatinya semua manusia itu baik.Â
Mereka "manusia" menjadi jahat karena belum selsai dengan dirinya, hidupnya penuh dengan konflik kepentingan di dalamnya.
Hidup dan terbawa perasaan, mungkin hanya sebatas permainan dunianya sendiri. Tentang jiwa-jiwa jodoh yang ada, apakah mereka tidak dibelenggu konsep sebagai dirinya sendiri terlebih dahulu?Â
Harapan dan keterbawaan diri pada keyakinan akan mengharap itu sendiri, mungkin inilah yang bermain, anggapan dan selalu teranggap lagi oleh diri manusia masing-masing.
Tentang kemurnian jiwa, biarlah menjadi sebuah misteri untuk diri kita sendiri "manusia". Mereka yang mencintai kita dengan kosong, apakah sudah tidak ada harapan yang mengikat? Memang hanya menjadi pertanyaan, sekali lagi, beratnya berpikir tentang manusia yang selalu saja begitu, tidak akan pernah ada habisnya.
Tetapi beginilah menjadi manusia, semua dipikir secara manusiawi tidak sampai, tidak dipikir menjadi manusia juga terperangkap oleh sikap manusianya itu sendiri, membelenggu, jatuh, dan terombang-ambing angan, yang harus menjatuhkan diri pada akhirnya sebagai manusia.Â
Mereka yang tengah lari, mencari obat mengobati rasanya sendiri, yang tengah berlubang, dan cenderung kurang sebagai dirinya saat ini.
Manusia memang perlu obat untuk lari dari kekurangan  rasanya sendiri. Sekiranya obat mana yang dibutuhkan manusia menyembuhkan dirinya sendiri?Â
Semua tergantung, bukan tergantung oleh lingkungannya, tetapi oleh preferensi dirinya akan kesenangannya, judi, narkoba, sex bahkan agama sekalipun, adalah tempat manusia lari dari apa yang kurang dari dirinya sendiri.
Perihal makanan bagi jiwa manusia "pengetahuan" merupakan unsur itu, upaya untuk lari, seperti ungkapan Plato, "ilmu atau pengetahuan adalah makanan bagi jiwa".Â