Jagad hiburan adalah hal-hal yang patut di perbicangkan itu. Jika pembicaraannya mandeg, ia berhenti pula untuk dikenal dari dalam dunia hiburan itu sendiri. Tentu ini termasuk apa yang dilakukan oleh Deddy Corbuzier, presenter acara Hitam Putih, yang ditayangankan malam hari, rutin senin sampai jumat, di layar kaca televisi swasta nasional.
Tentu bagi seorang "multi telent" seperti Deddy Corbuizer jelas, dia tidak ingin popularitas masuk agama terbesar di indonesia. Deddy Corbuzier bukanlah mereka, yang berhijab ada kalanya dibutuhkan, dan tidak berhijab pada saat waktu tidak membutuhkan itu, istilahnya "hijab" untuk kepentingan ekonomi, lepas hijab pula untuk kepentingan ekonomi.
Tetapi saya tidak menyalahkan siapapun, dan apapun motifnya. Saya berpikir tetap, Â hijab adalah identitas, seperti pakaian saja "dianjurkan baik". Hijab tidak dapat mengukur kedalaman beragama seseorang, tentu tidak akan pernah bisa.
Perkara yang mengkeritik mereka lepas hijab, hanya mereka tidak mengerti, lebih penting masih bekerja, laku di dunia hiburan dari pada berhijab, tetapi dapur tidak mengebul. Menurut saya itu manusiawi, karena saat ini, kita hidup di dunia, ya hanya-hanya mereka saja, yang bilang bahwa dunia ini tidak penting, padahal ya sangat penting untuk siapapun yang hidup di dunia.
Tidak pentingnya dunia bagi mereka itu pun tetap bermotif, bisa saja karena "ia" tidak mampu berbuat banyak pada hidupnya, lalu lari mencari sesuatu yang menguatkan argumennya bahwa; dunia hanya sementara, namun disana "ia" mengharapkan santunan banyak lewat ceramah (pendapatan uang:gaji), jadi apa yang membedaknnya? Bukankah masih berharap juga pada dunia?
Itupun sama seperti mereka, untuk apa kerja ngoyo-ngoyo, uang tidak dibawa mati, padahal ia hanya tidak bisa mengikuti saja, semangat dari kerja yang ngoyo tersebut. Mereka berkata-kata karena mereka tidak mampu, tidak lebih dari itu. Cukapkan saja semua ungkapan-ungakapan indah dalam tipuan itu. Tetaplah menjadi apa adanya diri, tanpa ungkapan yang membuat orang sinis terhadap kita, yang berbicara padanya.
Suatu ketika, narasi orang akan pembicaraannya, memang dapat di mentahkan, apapun kepentinganya, menurut anggapannya sendiri. Seperti ungkapan yang basi, pada setiap candaan yang mengiringi perjalanan manusia pulang kerja.
"Diantara kuli dan User perusahaan, ketimpangan begitu dalam, ia "user" bisa kaya, dan kuli hanya pas-pasan saja ekonominya". Suatu saat ia pernah berkata dalam candaannya sewaktu pulang kerja, tentu User ini merupakan orang yang telah kecukupan segalanya, dan kuli tidak. Â User berkata pada kuli, mau menikah dengan berbeda agama dan kau menjadi kaya?
User itu pasti menjawab dalam pendapatnya "tidak mau". Ia "user" menunggu jawaban kuli, untuk melegakan pertanyaannya tersebut, karena dipikiranya, agama adalah segala-galanya, menjadi miskin pun tak apa asal beragama. Tetapi kuli menjawab dengan membuat kaget dirinya "user", kuli berkata ia tidak masalah menikah, walaupun berbeda agama, asal sama-sama ingin hidup bersama.
Perkara istri yang berbeda agama kaya, itu hanya nilai plusnya saja. Dengan terbata, sungguh tidak memuaskan user, atas "jawaban" dari kuli tersebut. Ia menabahkan bahwa, kuli ini kafir, dan lain sebagainya, yang sudah tidak patut, dan dikatakan olehnya setengah atheis, karena kuli menganggap dan percaya ada tuhan.
Kuli dalam ideologinya memandang, tuhan tidak mebedakan siapapun, tuhan ada didalam apa yang diciptakannya. Jadi pertanyaan si kuli tersebut, apa artinya ia beragama tetapi memandang setengah manusia, pada ciptaan tuhanya itu sendiri, yang diakuinya sebagai yang "esa "(satu). Bukankah kalau seperti itu, ia juga sedang menyangka setengahnya "tuhan" dari apa yang dipercayainya?