Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Konsep sebagai Manusia

18 Mei 2019   20:05 Diperbarui: 2 Juni 2019   12:10 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah, justru inilah kenyataanya bahwa; kebaikan dan keburukan bersaudara sebagai "aku". Kita semua terlempar begitu saja di dunia, juga dengan begitu saja sebagai "aku" manusia"

Ingin aku mengungkapkan, bahwa; Belalang berterbangan disana juga dapat dikatakan sebagai diri. Hujan begitu deras, angin begitu kencang, aku disini, dibukit yang menjulang tinggi. Cahaya ini redup kekuningan, menemaniku dalam kesendirian.

Di sana ada Belalang hinggap dipinggir lampu jalan itu. Mungkin dia sedang merasa bahwa, malam ini terasa dingin sampai menusuk ke tulang. Tetapi, siapa yang akan menyangka? Sungguh aku ingin tahu? Apa yang dirasakan Belalang itu? Dia begitu nyaman, tanpa ada, rasa curiga kepadaku, bersama rasa dinginnya yang menyelimutinya itu.

Tetapi, aku juga punya kepekaan, untuk sekedar, merasa sebagai makhluk yang sama. Kau (belalang), berjuang untuk membuat keadaan-mu lebih baik. Untuk itu, kau memberanikanya, dengan melawan ketidak nyamanan-mu bersamaku. Tidak lebih, demi secerca cahaya, dan kehangatan yang bisa menghangatkan tubuhmu.

Kau sekarang sedang bersamaku, mungkin beberapa hari kedepan, kau akan mati. Tetapi aku lihat ada cahaya dimatamu, kau tetap menerima keadaanmu. Dan aku, juga harus sepertimu, menerima keadaan yang sudah "sama-sama menjadi takdir kita hidup di dunia".

Memang, menjadi diri pribadi di dunia begitu rancu. Terkadang  harus menjadi syukur, yang harus terus di syukuri. Rasanya kehidupan  ini terlampau serius. Aku terkadang merasa dengan cara yang tidak terduga untuk merenungi. 

Perbedaan cara mungkin akan menjadi acuan hidup itu sendiri. Bagaimana suatu bentuk mempengaruhi identitas diri manusia? Namun, perbedaan yang melekat seakan memberi sekat diri. Entah itu kondisi yang di inginkan, atau tidak di inginkan? Aku lah sang penanya itu?

Ada kalanya, aku mempertanyakan ketidaksamaan yang terkadang lucu. Aku ingin sepertinya, tetapi, di dalam hati mereka, dia mungkin ingin seperti diriku. Ini yang di namakan ketidakjelasan identitas itu, bahwa: "keterpandangan diri seakan datangnya dari luar diri itu sendiri". Banyak waktu untuk bertanya, mengenai hal apa yang memenuhi pertanyaan segala perasaaan? Seperti sedikit mempertanyakan kesadaran, sudahkah kita, "manusia" bangga dengan diri manusia itu sendiri?

Dituntut untuk bertanya, melupakan semua hubungan antar pribadi sangatlah menjadi mungkin. Jika diri ini tersadar, bahwa; keterwakilan diri milik pribadi, tidak ada harapan yang melegakan pikiran. Karena semua itu akan berangsur menjadi beban yang tidak terelakan, oleh diri ini juga pada akhirnya. Saat ini aku adalah diri pribadiku. Mereka itu mereka, bukan aku, dan mungkin itu dia, tidak akan pernah menjadi aku.

Upaya menjadi diri sendiri tidak akan lagi dapat ditawar pada akhirnya, walaupaun kemuktakhiran zaman membuat materialisme semakin tidak terelakan. Aku kini seakan hidup di dalam angan - angan orang lain, bukan ada, dalam angan-angan diriku sendiri. 

Kini ketendensiusan pada konsep orang lain ditiru. Bukan di analisa, kemudian dipikirkan, selaras dengan diri sendiri atau tidak? Dalam hati, cenderung ingin menjadi pengikut saja. Tetapi aku sadar, aku adalah kebebasan bagi diriku sendiri.

Memang menjadi autentik dewasa ini sangatlah langka. Karena, kita bertendensi menjadi konstruksi konsep bentukan motivator pilihan. Tetapi, ini yang seharusnya mengedap dalam pikiran kita. Apakah motivator itu benar-benar seperti apa yang dibicarakan oleh dirinya sendiri? Bahkan para filsuf, yang punya kategori orang bijaksana pun, tidak mau untuk ditiru. Bukankah kita tidak dianjurkan untuk berpretensi? Maka, jadilah diri kita sendiri tanpa mengikuti.

Meskipun tidak pernah dijadikan sebagai kepedulian, tentang suatu identitas yang melekat pada diri, justru, kita harus membangun identitas sendiri tanpa kotaminasi. Jadi apa yang kau pikirkan? Jika ada seseorang yang menanyakan identitas dirimu? Indentitas berarti ciri atau, keadaan khusus seseorang; menyangkut jati dirinya. Mungkin jika salah satu dari kita ditanya, mengenai identitas yang tergambar, adalah suatu konsep. Tetapi bukankah konsep itu terbangun atas dasar keakuan itu? Mengapa tidak menjadi aku saja?

Dari siapa kita berasal? Bagaimana keadaan ekonominya? Tentang karakter rasial? dan lain sebagainya yang masih menyangkut dengan keadaan diri kita. Tidak ada yang murni, pada waktu kita lahir sudah dilekatkan sebagai manusia yang bernama "Aku". Kita di kenalkan mereka diantaranya Ayah, dan Ibu, Kakak, Paman dan lainnya. Apakah ketika dalam hidup ada orang lain, ada aku, di dalam diri sendiri tidak pernah ditemukan?

Ini menjadi suatu hal yang menarik. Terkadang hal yang paling mendasar membentuk identitas diri kita adalah lingkungan, yang pertama kita kenal. Komunitas keluarga merupakan komunitas yang paling berpengaruh, dalam membentuk identitas sebagai "Aku". Tetapi, setelah beranjak dewasa, kita mulai menetang kosep identitas yang keluarga tawarkan, tentang  "aku" untuk terus menjadi aku, dalam komunitasnya sebagai entitas yang terpisah.

Kita sebagai diri "aku", mulai tertaik dengan kehidupan luar yang begitu menajubkan, dari apa yang ada sebelumnya. Diri perlu tahu, bagaimana cara mewujudkan identitas yang tergambarkan oleh pikiran kita sendiri. Berbagai macam cara kita tempuh demi mendapatkannya. Usaha yang terus menerus, membawa kita pada keadaan, di mana identitas yang kita mau menjadi nyata  dan terwujud.

Apa yang kita rasa, jika telah mewujudkannya? Sudahkah identitas yang sesuai dengan konsep pikiran kita, terbentuk merefleksikan diri kita sendiri sebagai "aku", yang digambarkan oleh diri sendiri? Prasangka yang sulit, namun tetap saja identitas "aku", tidak bisa menjawabnya.

Fluktuasinya pikiran dan perasaan, suatu tanda bahwa; identitas meskipun sebagai "Aku" adalah suatu yang kabur, dan tidak pernah merefleksikan diri sebagai itu sendiri. 

Di mata identitas apapun, kita adalah orang yang sama sebagai "aku", dalam setiap prasangkanya yang tidak pernah tetap. Diri kita tidak akan bisa digantikan oleh identitas apapun, meskipun impian menjadi "aku" terwujud dalam kenyataan. Kita tetaplah kita, dan identitas sebagai seperti tidak pernah ada.

Pengakuan Sebagai diriku

Mungkin terlampau sudah, apakah dunia ini begitu mengakui aku? Aku bahkan bukan apa-apa, meskipun dengan menjadi apa, yang sedang terjadi dalam diriku sendiri saat ini. Tidak akan ada pengakuan dari orang-orang mengenai siapa pun, "termasuk pengakuannya sendiri, yang sedang ia formulasi sebagai pembenarannya". Tanpa adanya aku dunia, tetap akan berjalan semestinya. Yang harus dibuat adalah, sesuatu yang tidak dibuat-buat. Tidak lebih untuk hidup apa adanya tanpa yaitu, kekosongannya semata.

Aku adalah bagian kecil dari dunia ini, yang mecoba mengisi kekosongan itu. Meskipun di isi pun tetap, akan menjadi kekosongan-kekosongan baru. Dunia sebenarnya yang tidak mengakui namanya, pengakuan diri secara abadi. Tidak pernah ada pengakuan tentang diri itu karena, diri sendirilah yang akan tetap mengakui "dirinya sendiri". Disinilah, apakah kita terus mengakui ketika sebelumnya sudah terakui oleh diri?

Inilah yang membuat ketidak percayaan pada diri itu sendiri. Semakin hari, manusia kekinian semakin tidak percaya diri saja kelihatan-nya. Kini, kita semua melekatkan kepada sesuatu yang ada diluar diri kita sendiri, dengan sejujur-jujurnya. Kita mempercayai bahwa, Ijazah adalah senjata mengadu nasib, Uang sebagi jaminan kebahagiaan, Smart Phone menjadi teman utama.  Begitupun kita menganggap memakai Baju bagus, punya rumah mewah, motor yang keren, mobil yang banyak, dan lain "sebagai sarana menambah kepercayaan diri".

Kalau memang kita tidak bisa lepas dari semua itu sebagai diri? Apakah kita masih layak disebut sebagai manusia yang percaya diri itu, dalam membawa hidup menjadi "Aku"?  Ketergantungan kita pada sesuatu diluar diri kita sendiri pertanda, bahwa; "kita hanyalah manusia yang tidak percaya akan keberadaan diri kita sendiri secara utuh.

Tetapi bagaimana dengan mereka yang saat ini berbicara dengan kebaikan menurut dirinya sendiri? Sebagai manusia, memang tidak terlepas dari kehendak menjadi baik meskipun, dasar pikirannya bukan dirinya sendiri. Tetapi, sudahkan kehendak itu di implementasikan secara nyata? Dan tidak hanya menjadi retorikanya belaka dalam menutupi keburukannya, yang dalam realitanya menjadi saudara kandungnya sendiri?

Selayaknya, menjadi manusia lebih baik adalah mereka yang tidak banyak berbicara kebajikan atas nama, baik optimisme, atau pesimisme sekali pun. Seharusnya  menjadi manusia lebih baik, yaitu manusia yang tidak peduli dengan manusia lainnya. Seperti Pertapa yang hanya hidup di dalam Goa-nya saja sendiri.

Memang, seperti  yang terlempar di dunia sebagai diri manusia. Dengan kehendak bebas manusia, saya begitu bebas, untuk memilih pelbagai pilihan hidup itu sendiri. Hak diri memilih berjalan dengan keburukan atau kebaikan. Aku menjadi sempat berpikir, bagaimana aku sebelum dilahirkan? Orang tua selaku sang pencipta, sudah pasti memiliki nilai-nilai harapan kebaikan pada diriku.

Jika memang anak manusia tidak pernah bisa membalas budi orang tua, atau sang penciptanya? Setidaknya aku harus tidak mau menjadi beban yang amat sangat berat bagi orangtua, atau sang pencipta diriku sendiri. Kita ada karena mereka ada, jika sudah begini, sudah tidak bisa lagi dipermasalahkan peri hal "anak durhaka dan orang tua durhaka".

Tidak ada yang benar, dan tidak ada yang salah, justru inilah kenyataanya, bahwa; kebaikan dan keburukan bersaudara sebagai "aku". Kita semua terlempar begitu saja di dunia. Juga dengan begitu saja sebagai "aku" menjadi manusia. Tidak ada kesempurnaan dalam realitas di dunia ini, karena jika ada kesempurnaan itu, merupakan milik mereka yang berbicara sempurna, untuk menutup alibi keburukannya sendiri kepada orang lain.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun