Selayaknya penelitian ilmiah memang harus dikaji. Saya tidak tertarik terhadap suatu dongeng atau, kata-kata manis yang dipuitisasi oleh suatu pengertian dangkal. Proses panjang dari alam semesta dijabarkan oleh para ilmuwan dan ahli metafisika. Tetapi, itu bukanlah suatu kebenaran tunggal yang harus dipercayai. Masih banyak alternative pengetahuan lain yang masih belum terungkap.
Untuk mempelajari makro kosmos dan mikro kosmos sendiri, menurut saya perlu mengenal psikoanalisis, dan psikospiritual. Bagi saya, semua ini merupakan sesuatu yang berwujud dibaliknya ada sesuatu yang tidak terwujud. Dunia sendiri adalah dua entitas yang berbeda tetapi menyatu dalam relasinya. Seperti halnya adanya makhluk laki-laki dan perempuan yang bekerja sama melestarikan proses kehidupan. Proses yang panjang sendiri dari kehidupan sudah dijawab oleh ilmuwan, walaupun itu hanya hipotesis, dan mengundang banyak sekali perdebatan
Sebagai  manusia untuk itu, rasa ingin tahu akan mekanisme adanya manusia hadir setiap waktu dalam, semesta bayangan dari pemikiran-pemikiran ini. Bagaimana awal manusia itu ada? Mengapa ia ada? Tetapi mengapa saya belum puas akan jawaban dogma-dogma yang ada? Terkadang saya merasa, karena banyaknya versi yang mecoba menjelaskan akan pertanyaan ini, menjadi keragauan itu sendiri bahwa; jangan-jangan kebenaran ada pada persepsi kita sendiri? Ah, iya mungkinkah? Nyatanya semua ingin dibenarkan oleh pendapatnya sendiri-sendiri.
Manusia adalah makluk pencari suatu kebenaran tetapi, pada kenyataanya manusia tidak pernah menemukan kebenaran yang mutlak atau diakui semua orang. Kebenaran dalam versinya  menurut satu manusia adalah pertentangan bagi orang lain dan itu sudah biasa terjadi. Saya adalah seorang pencari, saya tahu, tidak ada lagi tempat selain diri sendiri untuk bersandar, karena simpang siurnya orang banyak berpendapat secara berbeda-beda.
Pandangan spiritualisme dalam pengertian saya menjelasakan mengenai evolusi roh, materialisme mengenai evolusi fisik, dari fenomena seleksi alam. Penelitian materialisme sendiri dikembangkan oleh Charles Darwin ilmuwan asal Inggris. Spiritualis berdasarkan pada wahyu-wahyu yang katanya, "dari Tuhan". Tetapi dalam eksistensi saya sendiri menyadari, keduanya tidak bisa dibuktikan secara nyata saat ini di hidup saya, terkecuali dengan suatu anggapan yang diadakan agaman itu. Tentu saya mengira, apapun adalah  suatu konsep atau bentukan manusia dalam menafsirkan sesuatu yang melampaui.
Antara materialisme dan spiritualisme merupakan sesuatu pandangan yang saling mendukung dan berjalan selaras. Oleh karena itu, mereka "keduanya" tidak perlu di perdebatkan sampai dengan siapa yang paling benar. Mereka antara "materialisme dan spirituliasme" sama halnya manusia, yang mencari tetapi mentok pada pemikirannya sendiri. Bukan tidak mampu memikirkan, tetapi untuk apa berpikir terlalu jauh? Jika manusia menjalani hidupnya ingin serba tahu, apakah mungkin tidak ada salahnya juga karena ingin tahu adalah mentalitas seniman "dalam hal ini manusia"? Tentu para filsuf disana adalah seorang seniman; seniman yang berseni dengan berpikir.
Proses panjang kehidupan tidak lepas dari seleksi alam, dan evolusi roh itu lah, kata seni dari berpikir para filsuf. Manusia berpikir karena harus berjalan selaras dengan seleksi alam, supaya bisa mempertahankan eksistensi dirinya sendiri bersama dengan fluktuasinya kondisi alam. Aktifitas berpikirlah awal mula rasa manusia ingin memiliki dan rasa ingin berkuasa atas nama diri dan berbagai kepentingan-kepentingannya. Mungkin sudah kodrat alamiah bahwa insting berpikir adalah senjata untuk menjalani kehidupan itu sendiri.
Hukum alam menuntut makhluk untuk berkembang biak supaya; tetap ada regenerasi untuk proses sebagai kesatuan dengan alam semesta. Menurut saya inilah sebab keadaan manusia tidak bisa lepas dan terus bergantung  keadaan alam. Berkembang biak dan rasa saling memiliki berjalan beriringan untuk menciptakan suatu keturunan. Mungkin disinilah asmara dimulai sebagai bibit berlanjutnya kehidupan. Atas pemikiran-pemikiran dan penemuan yang sudah ada ini, saya bisa mendapat jawabanakan pertanyaan yang menggalaukan setidaknya untuk diri saya sendiri.
Saya tidak percaya lagi terhadap cinta, jodoh dan belahan jiwa, karena keterkaitan saling memiliki bermuara dari pikiran dan hasrat bawaan sebagai makhluk itu sendiri. Bahwa; di dalam diri setiap manusia sudah mempunyai insting melestarikan spesiesnya. Tanpa embel-embel jodoh, cinta dan sebagainya, kehendak untuk berkembang biak sudah merepresentasikan itu. Penamaan cinta dan lain sebagainya hanya menjadi romatisme penama-an yang asalnya tanpa nama sebagai hasrat kehendak alam yang tidak dapat dilepaskan,"setiap makhluk berinsting melestarikan dirinya sendiri".
Evolusi Roh-lah kehidupan yang menyimpan dipikiran dibawah sadar dan supra sadar manusia. Adanya rasa ketertarikan sesama makhluk hidup menurut saya murni karena pengalaman kehidupan masa lalu yang transenden seperti, mengapa kehendak untuk berkembang biak itu ada?Â
Mengapa saya percaya kehidupan masa lalu sebagai bangunan kehidupan dan makhluk di dalamnya? Jika eksistensi sang pencipta atau "tuhan" ada, bukakah semua orang percaya bahwa suatu; energi berasal dari energi itu sendiri?Â