Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menjalani Hidup dengan Rasa

3 Mei 2019   19:01 Diperbarui: 3 Mei 2019   23:42 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi diambil dari pixabay.com/fantasi-cahaya-pencipta-dewa-awan

Apa tidak terlalu sayang ketika kita dapat lalu dihabiskan untuk jangka waktu itu juga? Sebenarnya jika dilihat mungkinkah kita menjadi sederhana ketika yang dilawan adalah diri kita sendiri? Tidak sesederhana itu, "lebih mudah melawan dunia dari pada melawan dirimu sendiri".

Perlu berjangka untuk melawan diri sendiri. Ada proses belajar yang harus ditempuh setiap pribadi. Melalui perjalanan ini, semua di buat berpikir dengan rasa. Bagaimana jika kelak diri ingin memperhentikan dirinya sendiri untuk tidak terikat dengan sesuatu yang tidak disukainya lagi oleh diri? Banyak keterikatan dengan diri yang selama ini dijalani, jelas: secara langsung adalah beban bagi dan dari diri itu sendiri.

Bukan menjadikan diri sebagai penumpuk hasil dari pendapatan yang lupa dalam menikmati. Namun apa yang tidak berhenti dari diri sendiri? Kebutuhan untuk makan tidak akan berhenti dari dalam tubuh yang hidup. Lalu bagaimana ketika modernitas hidup juga menyandramu dengan kebutuhan yang ingin bersanding denganmu? Bukankah itu sebuah masalah yang akan hadir berikutnya "jika diri ingin diam memanjakan atau menenangkan dirinya sendiri dari setiap kebutuhan-kebutuhan ingin itu"?

Untuk bekal, ketika berhenti dan ketika sudah kau dapat, apa yang akan kau lakukan untuk diri dan tubuhmu? Ubah dan mulailah curiga pada dirimu sendiri. Tidak ada yang sederhana dalam perjalanan cerita bahagia dan derita batin yang terbangun secara individual. Terus terang, hidup dunia hanyalah perkara menyiapkan. Semua dibuat menyiapkan apa yang butuh dari diri ini baik saat ini atau saat yang akan datang.

Sedangkan masa hidup sendiri adalah masa baktimu yang tidak akan bisa engkau ingkari. Belajarlah untuk bagaimana mengatur hidup dan waktumu juga kebutuhan-kebutuhan yang akan kau butuhkan dihari berikutnya. Mungkinkah suatu yang glamor dan memboroskan merupakan bagian dari cara hidup dirimu sendiri? Seperti kata pepatah, ia berkata "Meyederhanakan hidup dengan menahan itu ciri seorang yang rugi, jadi nikmatilah apa yang kau dapat tanpa memperdulikan esok". "Jangan pernah menjadi orang yang takut dengan dunia, rezeki pasti ada yang memberi".

Bukan juga untuk takut tetapi apakah kita akan bergantung kepada yang memberi itu? Ketika sudah diberi dan diri mengolah pemberian akan lebih baik dari pada, diberi dihabiskan dan selalu mengaharap kepada sang pemberi itu sendiri. Yang terjadi selanjutnya adalah "ketika harapanmu kurang, kau meminta lagi, terus meminta dan memohon". Seakan kaulah manusia yang telah diperlakukan dengan tidak adil oleh sang pemberi. Padahal jelas, engkau yang tidak adil dengan apa yang kau dapat untuk .

Memang seperti terlihat tidak menikmati hidup, juga terkesan kau tidak peduli dengan dirimu sendiri untuk bahagia, bisa membeli apapun yang kau suka. Tetapi hidup juga seperti angsuran yang telah ditetapkan waktu. Manusia hidup butuh kredit poin sampai sejauh mana dia bisa bertahan dikala tidak bisa menghasilkan dari kegiatan hidupbya. Itu semata untuk jaminan ketakutannya, "sebagai seorang yang berinsting hidup selamanya sebagai manusia".

Maka dari itu olah-lah yang telah kau dapat untuk kredit poin diwaktu yang akan datang. Perkara mati, "itu hanyalah proses, dan kau akan selamat dari kebutuhanmu sendiri ketika hidup". Jadilah perencana baik bagi sang pemberi dalam hidupmu. Bila kau yakin terhadap sang pemberi, jangalah memberatkan yang memberimu dengan terus meminta, memohon dan menyalahkan. Biarlah ia memberi yang lebih sulit hidupnya dari dirimu, sang pemberi tidak butuh apapun, hanya minta yang di beri tetap berencana agar tidak meminta-meminta lagi.

Oleh karenanya, aku memang harus berhenti dari dalam dimensi kefanaan ini. Aku ingin berhenti pada keinginan-keinginan yang berat untuk aku jangkau. Rasanya sudahlah, aku berdamai saja dengan rasa cukup dalam diri dan hidup ini. Untuk menjadi tenang, tanpa beban dan tanpa banyak keinginan harapan yang memuakan pikiran tentang kehidupan.

Seakan aku tidak lagi menjadi diri sendiri ketika, "aku di buru keinginan". Setiap orang pasti punya rasa ingin, dan itu sangat wajar sebagai manusia. Namun menjadi pertanyaan, apakah keinginan itu memberatkan? atau keinginan itu wajar? Tidak ada yang tahu, hanya diri kita sendiri yang mampu menjawabnya, memang ia benar ingin, atau hanya kebutuhan yang seharusnya kita penuhi?

Banyak keinginan, banyak harapan rasanya hanya akan menambah beban kehidupan. Untuk meniadakan keinginan dalam hidup ini rasanya sudah tidak mungkin. Seseorang yang hidup pasti punya keinginan termasuk juga, "menginginkan tetap hidup itu sendiri". Tinggal pertanyaannya, apakah kita ingin hidup atau butuh hidup? Bukankah kita ingin hidup dan butuh berbahagia menjalaninya? Tanpa pikiran yang memberatkan? Juga menghilangkan nafsu egoisme yang medidihkan hati kita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun