Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Spiritualitas, Meraih Namun Tidak Dapat Diraih?

26 April 2019   14:50 Diperbarui: 5 Mei 2019   23:09 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi diambil dari news.detik.com/ Serangan Bom di Gereja Srilanka

Juga bagaimana cerita perlawanan rakyat Cilacap di Gumilir menentang politik Jepang waktu itu. Dengan modal jihad dan pembekalan secara spiritualitas mereka menetang dengan jalan kekerasan atas nama pengorbanan darah dan sejengkal kekuasaaan bagi yang mau mengantikan kuasa atas negara selanjutnya. "Saya tidak menetang ini, bagaimanapun teologi menurut saya adalah politik, maka dari itu, saya sudah tidak heran".

Melihat bagaimana pergeseran budaya di indonesia sendiri menarik. Dominasi politik dan teologis secara tidak langsung mengubah masyarakat yang sudah mapan.

Saya menyimpulkan bahwa "saya bicara dalam konteks masyarakat Jawa". Clifford Geertz (1926-2006) adalah seorang antropolog budaya. "Ia pernah menulis buku "The Religion of Java".

Masarakat Jawa menurut geertz di kelaskan menjadi tiga bagian budaya, dimana itu dipengaruhi oleh corak religion masing-masing. Tiga bagian kelas tersebut adalah kelas Abangan "bagi masyarakat petani pedesaan yang masih beragama dengan kombinasi ajaran leluhur seperti hindu dan budha", dimana dalam praktik keagaamaannya masih mengunakan kemenyan dan dupa.

Kelas Kejawen untuk elit politik waktu itu seperti pegawai pemerintahan dan elit-elit bisnis lainnya. Untuk kelas berikutnya adalah kelas Santri dimana ciri budayanya masyrakatanya kental dengan ajaran teologis tertentu.

Dominasi politik dan pasca kemerdekaan dan peristiwa G 30 S menjadi tonggak perubahan budaya religion baru dalam masyarakat Jawa itu sendiri. Mengakuinya negara atas lima bentuk religi yang sah diberlakukan di Indonesia sendiri secara tidak langsung mengubah pola budaya religiuitas masyarakat Jawa.

Adalah Islam, Budha, Kristen, Protestan dan Hindu sebagai agama resmi yang harus dianut masyarakat Jawa khusunya Indonesia. Untuk yang tidak mengikuti salah satu agama tersebut akan di stigma sebagai atheis dan pembrontak terhadap negara.

Maka berangkat dari sana masyarakat Jawa mulai terkotak menjadi banyak corak. Pasca reformasi sendiri dengan kebebasan berserikat menciptakan identitas baru baik dalam religi maupun politik. Partai-partai diciptakan atas nama identitas itu sendiri dengan basis kelompok religi tertentu.

20 tahun berlalu, dan kebosanan atas identitas yang terlalu kental antara religi dan politik menjadi tonggak berubahnya budaya religion masyarkat Jawa.

Moderitas dan kejengahan pada politik identitas, dan sibuknya masyarakat pada bentuk kerja sendiri sebagai masyarakat teknologi kini berangsur mengubah pola masyarakat Jawa itu sendiri baik atas dasar budaya maupun bentuk religi. Dengan pra kemerdekaan dibagi menjadi tiga corak, pasca kemerdekan menjadi lima corak, berubah menjadi hanya dua corak budaya mutakhir masyarakat Jawa.

Tentu dua corak masyarakat ini adalah agamais dan sekuler.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun