"Manusia bukanlah pekerja yang hanya cukup dikasih makan seperti kerbau, seorang pekerja jika masih manusia butuh juga disejahterakan kehidupannya"Â
Ada yang mungkin tidak seorang pencari kerja sadari. Dari sekian banyak iklan lowongan kerja yang terpampang di media apapun, ada satu kata yang menarik. Kata yang menarik itu adalah "jika seorang pekerja ingin melamar kerja pada perusahaan tersebut, perusahaan meminta para pekerja untuk mampu bekerja dibawah tekanan". Saya menilai, esensi untuk menerapkan standart dibawah tekanan bukan hanya porsi kerja yang gila, tetapi terus ditekannya gaji yang gila-pun harus mereka terima.
Umumnya para pencari kerja tidaklah berpikir sejauh itu, terpenting diterima kerja sudah menjadi keinginan dasar para pencari kerja tersebut. Nasib baik ada perusahaan yang menerima kita untuk bekerja. Kita tahu, semakin banyak manusia lahir pada abad saat ini membuat kita sebagai manusia semakin berkompetisi. Persaingan ada pada semua lini, termasuk menjadi pekerja abad 21 ini.
Tidak salah memang perusahaan menyertakan kualifikasi untuk mampunya seorang pekerja bekerja di bawah tekanan. Beberapa dekade terakhir persaingan bisnis begitu sangat ketat. Bahkan tidak jarang persaingan bisnis yang seharusnya menjadi lahan banting nasib antara sesama pebisnis malah menjadi lahan pertarungan hidup dan mati antara sesama pebisnis itu sendiri.
Inilah bentuk cikal bakal harus mampunya pekerja suatu bisnis tertentu berada dibawah tekanan. Tentu ini bertujuan untuk sama-sama mewujudkan perusahaan yang mampu bereksistensi. Lebih penting dari itu adalah mendulang keuntungan yang tinggi agar bisa mengembalikan modal dan membayar gaji karyawan. Tetapi ketika perusahaan sehat, dan masih mempunyai banyak keuntungan, perusahaan tetap berpatok pada upah minumum regional yang menjadi aturan pemerintah.
Inilah sayangnnya tekanan yang diberikan untuk para pekerja tidak dibarengi dengan insentif dari hasil kerja yang memadai dari para pelaku bisnis. Para pelaku bisnis cenderung melakukan pembiayaran kepada para pekerjanya. Hubungan kebanyakan para pelaku bisnis dan pekerja umunya berkedok pofesionalisme semata. Dimana para pelaku bisnis dengan membayar upah bulanan pekerja sudah termasuk menjujung tinggi etitut baik atara pekerja dan pemberi kerja.
Kebanyakan para pelaku bisnis abad 21 memberi upah pekerja hanya sebatas upah minimum regional daerah tertentu yang ukurannya paling minimal dalam membayar upah pekerja di daerah tertentu. Bahkan tidak jarang dijumpai upah perusahaan dibawah minimum regional.
Jika hubungan disuatu organisasi antara pekerja dan pelaku bisnis hanya bekerjasama dengan sebatas diberikan gaji cukupkah membayar segala kebutuhan pekerja, termasuk kehidupan yang layak diberikan? Kita semua tahu pekerja yang berada dibawah tekanan kerja yang gila kebanyakan kejiwaan mereka sangatlah rentan untuk mengalami ketidaksetabilan jiwa.
Bagaimanakah sikap pelaku bisnis yang seharusnya? Sudahkan perlakuaan dari pelaku bisnis itu menjawab semua apa yang dibutuhkan pekerja? Apakah memang benar layak, para pekerja dibayar sesuai dengan upah minimum regional?
Saya mengira dan yang sudah dijalani, upah minimum regional sangatlah tidak layak untuk menunjang kehidupan. Apalagi ketika hidup berumah tangga dan kita sebagai pekerja tunggal yang mencukupi kebutuhan keluarga. Memang dalam hal ini saya masih lajang, tetapi bagaimana cara teman-teman yang berada dan hidup dengan gaji sebatas UMR sangatlah berat.
Ketika mereka menyewa satu petak kamar kos, mereka masih harus mencukupi kebutuhan sehari-hari, belum kebutuhan sandang, berbagai kebutuhan lain seperti "liburan" mengurangi stres kerja dan lain sebagainya. Untuk hidup disuatu kota kecil Jawa Tengah dengan nilai UMR dibawah 2 juta rupiah, menyewa kamar kos layak saja dapat mencapai nilai setengah gaji. Belum listrik dan air "jika harus membayar". Coba kita bayangkan, layak?Â