"Eksploitasi dalam dunia pendidikan sendiri akan menciptakan para manusia-manusia koruptif, itu sesuatu yang sudah terjadi. Pendidikan baik yaitu pendidikan yang mengembangkan kemauan belajar para peserta didik bukan eksploitasi habis sebagai manusia terdidik itu sendiri."
Dari berbagai pilihan persamaan kata kamus besar bahasa Indonesia. Kata yang paling tepat untuk mengartikan cedekiawan adalah orang yang memiliki sikap hidup yang terus-menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu.
Kesalahan mendasar logika formal yaitu, untuk menjadi manusia tajam pikiranya memahami sesuatu haruslah melalui sekolah. Padahal untuk menjadi seorang cendekiawan tidaklah seribet perkiraan kebanyakan orang dengan asumsi hanya Sekolah saja. Pengetahuan akan terpaan pengalaman hidup sendiri juga dapat menjadikan kita seorang cendekiawan. Asal, kita sebagai manusia harus terus dan tetap belajar dari pengalaman kita sendiri.
Pada dasarnya untuk menjadi cendekiawan tidaklah perlu mempunyai banyak gelar akademik. Yang diperlukan menjadi cendekiawan adalah mencintai pengetahuan, di mana pengetahuaan menjadi arah hidup yang harus ditempuh. Pengetahuan ada di manapun, bahkan di tempat-tempat yang sebelumnya tidak pernah di duga.
Sebagian besar orang menganggap bahwa sekolah merupakan tempat para cendekiawan, namun anggapan itu merupakan anggapan yang salah menurut saya. Mengapa? Karena sekolah kini mengerucut tujuannya hanya untuk mencari ijazah sebagai sarana melamar kerja.
Sekolah menurut definisi saya merupakan tempat di mana seseorang berkumpul untuk tahu akan pengetahuan, bukan yang paling berpengetahuan. Sekolah sendiri merupakan sebagian kecil dari pengetahuan, itu karena Sekolah hanyalah membahas untuk tahu beberapa pengetahuan. Kebanyakan yang dipelajari hanyalah apa yang diajarkan tertulis pada kurikulum. Sedangkan dalam belajar, manusia membutuhkan semua rujukan belajar termasuk pendidikan holistik.
Saya berpendapat, model sekolah masa kini, sangat jauh dari harapan menciptakan cendikiawan. Seorang dapat dikatakan cendekiawan yaitu seseorang yang sudah merasakah pahit getirnya pengetahuaan. Di mana pengetahuan seorang cendekia didapat dari berbagai pengalaman-pengalaman yang dirasakan secara langsung lalu dipelajari untuk membuat suatu keputusan dalam hidupnya sendiri.
Sebagai pengertian akan pengetahuan, ada beberapa cendekia Indonesia yang tidak mengenyam pendidikan tinggi, namun kiprahnya bagi pengetahuan masyarakat sangat dapat diperhitungkan. Salah satu dari banyak cendekiawan Indonesia adalah Pramoedya Ananta Toer. Beliau hanya menamatkan pendidikannya setingkat Sekolah Rakyat, kalau kini setingkat Sekolah Dasar dan melanjutkan 1,5 Tahun di Sekolah Teknik sebutan Sekolah setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Tidak semua cendekiawan lahir dari tingkat pendidikan sekolah yang tinggi, itulah kesimpulan saya. Cendekiawan murni ada karena pengetahuaan pengalamannya sendiri yang direkam apik kemudian dipikir secara tepat dan bijaksana. Di mana kebijaksanaan dari dirinya sendiri digunakan sebagai keluwesan hidup bersama yang mempunyai preferensi berbeda-beda setiap individu manusia yang hidup.
Tanpa pendidikan tinggi pun seseorang dapat mempunyai bakat menjadi cendekiawan asalkan mampu menangkap pengalamannya sendiri untuk menjadi karya yang dapat dijadikan pengetahuaan. Setidaknya pengetahuan itu untuk dirinya sendiri.
Yang pasti menjadi cendekiawan tidaklah sesulit yang orang-orang kebanyakan anggap. Orang yang tidak bersekolah memang sangat kecil kemungkinannya untuk berserikat dengan orang lain yang mempunyai minat dan bakat yang sama termasuk berbakat menjadi cendikiawan.
Akan tetapi orang yang bersekolah maupun yang tidak bersekolah sama-sama memiliki kesempatan yang setara dalam hal menimba ilmu. Memang yang tidak bersekolah tidak akan mendapat pengakuan dengan berbagai sertifikat. Tetapi alam semesta sebagai sekolah bagi yang tidak masuk ruang kelas lebih banyak materi pengetahuaannya dari pada yang belajar dari ruang kelas. Â
Terkapitalisasinya segala aspek pembelajaran dalam ruang kelas di masa dewasa ini membuat seseorang harus memutar otaknya, bagaimana bersikap bijak dalam bereaksi atas hal-hal yang menyakut tentang diri dan berbagai pembelajarannya, dalam hal ini menjadi seorang cendekiawan tanpa sekolah?
Tidak semua bentuk pembelajaran untuk manusia terjangkau oleh kemampuan dirinya sendiri. Buku merupakan salah satu media untuk belajar Manusia. Harga buku yang tidak begitu mahal menjadi suatu bukti bahwa buku adalah guru pembelajaran yang paling terjangkau harganya. Kalau tidak mampu membeli buku, koran-koran atau buku-buku bekas dapat dijadikan sandaran akan supaya kita berpengetahuan.
Revolusi pendidikan kita
Bicara mengenai pendidikan tidak bisa lepas dari Institusi atau lembaga pendidikan dan negara selaku pemegang otoritas pendidikan. Terkadang dalam hati saya bertanya orientasi pendidikan itu sebenarnya apa? Pendidikan untuk kognitif dan pemahaman disiplin ilmu? Atau untuk kompetensi dan kompetisi suatu keilmuan berdasarkan sertifikat?
Pendidikan untuk kognitif dan pemahaman, tetapi yang terjadi banyak orang yang tahu, sedikit sekali orang yang paham. Begitupun antara kompetensi dan kompetisi, banyak orang yang punya kompetensi tetapi tidak banyak yang mampu berkompetisi.
Masyarakat tahu arti pentingnya Pendidikan untuk pengembangan diri, tetapi mereka tidak paham mengenai apa saja yang bisa di hasilkan dari pengembangan diri tersebut.Â
Pemahaman pendidikan hanya disempitkan pada ijazah untuk mencari pekerjaan yang selama ini sangat di butuhkan ketika akan melamar pekerjaan. Lembaga pendidikan banyak mereproduksi orang punya kompetensi, tetapi apa yang bisa mereka sumbangkan? Tanpa modal yang cukup, para manusia bergelar akan menjadi para pencari kerja, bahkan mereka memperbanyak manusia pengangguran karena semakin surplusnya manusia yang sama-sama bergelar.
Apa mungkin kompetensi hanyalah kebohongan belaka dari dalam ruang sekolah yang initinya memperjaul-belikan Sertifikat/ijazah? Pada kenyataannya masyarakat kita belum mampu berkompetisi di lapangan masyarakat global. Itu terbukti dari mandegnya inovasi teknologi yang bisa para intelektual Kampus ciptakan.Â
Jika ada yang mampu membuat teknologi itu, pasti akan dijual kepada pemodal asing, yang penting mendapat uang, sekolah dengan uang, hasil pun harus mendapat banyak uang. Tidakkah selama ini negara memfasilitasi ketika teknologi tercipta sebagai karya dari hasil pendidikan anak bangsa?
Setelah saya dalami dan saya rasakan pendidikan di negara ini hanya membuat bibit-bibit beban psikologis baru untuk kaum yang mengenyam pendidikan. Berbanding terbalik dengan esensi pendidiakan sebenarnya yang seharusnya dapat menciptakan cendekiawan peduli dan sebagai solusi berbagai persoalan masyarakat.
Tujuan pendidikan yang seharusnya untuk memberi stimulus untuk sadar akan ilmu pengetahuan sebagai pegangan hidup, justru mempunyai tendensi merepresi manusia berpendidikan dari dalam ruang kelas. Biaya pendidikan yang mahal, standar-standar ekspektasi nilai tinggi dari lembaga pendidikan dan perusahaan penyedia kerja.
Kompetisi dari dalam otoritas sesama lembaga pendidikan itu sendiri menerapkan nilai standar lembaga, juga kopetensi setelah lulus dari lembaga pendidikan tersebut. Semua mengandung beban yang tidak bisa manusia relakan jika berpendidikan melalui sekolahan. Mengandung pertanyaan itu sendiri bagi para kaum terdidik pasca kelulusan?Â
Apakah ruang kerja yang semakin sempit bersaing, dengan mesin dan teknologi computer mereka akan mampu? Jika tidak mampu tidak beratkah menjadi pengangguran ketika gelar yang disandang sudah berantai-rantai? Belum lagi dengan banyak uang yang digunakan untuk menebus gelar-gelar itu dari lembaga pendidikan?
Inilah sebab yang memicu tumbuhnya beban psikologis bagi seseorang yang terdidik itu sendiri dari dalam ruang sekolah. Apa bahayanya jika seseorang terkena beban psikologis? Inilah jawaban tentang terhambatnya kemajuan manusia bangsa ini. Orang-orang yang terdidik mengalami banyak beban psikologis karena tindak represi dari lembaga yang semakin menuntut.Â
Otoritas pendidikan sendiri yang cederung abai mementingkan kesehatan kapital dari pada manusia yang dihasilkan. Dan juga bagaimana yang bergelar di persepsikan tinggi oleh masyarakat tetapi dalam kenyataannnya seorang yang mendapat gelar itu tidak mampu membaut jawaban akan gelarnya itu sendiri.
"Revolusi pendidikan kini merupakan kebutuhan yang mendesak untuk membangun manusia baru Indonesia. Pendidikan haruslah mewujudkan pembelajaran pendidikan tanpa represi kepada peserta didik. Pendidikan harus membahagiakan tetapi tanpa beban yang diciptakan. Sekolah adalah tempat bermain yang dapat pengetahuan, bukan tempat pengetahuan mendapat ijazah untuk melamar kerja"
Kembalikan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan manusia terdidik bukan justru mengeksploitasi manusia terdidik. Selama ini pendidikan di negara ini merupakan ajang dari kepentingan bisnis belaka yang secara perlahan-lahan menghacurkan sistem pendidikan itu sendiri. Alih-alih mencetak cedekiawan justru malah mencetak generasi-generasi yang di pertayanakan zaman. Kasus bullying yang semakin banyak terjadi, siswa menentang guru dan lain sebagainya menjadi tanda gagalnya sekolah.
Program pendidikan seharusnya menjadi tanggug jawab negara, infrastruktur dari negara, biaya dari negara dan berakhir mengabdi pada negara untuk kemaslahatan masyarakat.Â
Sejauh ini dalam hal pendidikan negara tidak mampu berbuat banyak kepada anak bangsanya sendiri. Masyarakat dibiarkan dengan kemampuannya sendiri-sendiri dalam hal berpendidikan. Negara belum pernah adil mendidik anak bangsanya termasuk menata moralitas melalui kurikulum pendidikannya dengan berimbang.
Selama ini siswa hanya dibiarkan untuk menjadi kepentingan Industri. Jika negara terus membiarkan nasib anak bangsa dalam pendidikannya, bukan hal yang mustahil, negara akan menjadi lahan keuntungan dari para yang terdidik berkedok pengabdian kepada negara, mungkin sekolah akan terus di jadikan lahan Industri yang menjanjikan kapital.
Saya mengira apakah ada pengabdian yang murni ketika jalan untuk mengabdi dipenuhi dengan tumpukan materi yang harus dibayarkan? "Pada prinsipnya manusia mau berbuat karena adanya umpan lalu memberi umpan balik kepada pengumpan. Selama negara masih berpangku tangan dalam penyelenggaraan pendidikan, selamanya itu pula negara akan digrogoti para pengabdi pencari keuntungan material yang kejam dalam berbagai bentuknya, termasuk politikus, Aparatur Negara dan kelompok-kelompok ormas atas nama mengabdi pada negara. "
Pendidikan yang baik tidak menggembleng kemampuan peserta didik dengan material dan intelektual. Untuk itu, revolusi bentuk-bentuk pendidikan sekolah kita, jadikan sekolah lebih manusiawi dan membahagiakan. Tidak lebih sekolah kini hanya menciptakan manusia-manusia kerja yang tidak paham sebagai manusia sosial itu sendiri. Jika keadaan ini terus berlanjut tanpa upaya negara dalam memperbaiki sistem pendidikannya, saya yakin, sekolah tidak akan bisa berbuat apa-apa pada terciptanya Cendikiawan baru yang di butuhkan oleh kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H