Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mitologi Jawa, Bagaimana Memandang Pilpres?

5 April 2019   17:39 Diperbarui: 18 April 2019   00:37 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dalam tatanan masyarakat Jawa sendiri, Ibu Kota kerajaan, keluarga Raja-Raja dan pusat pendidikan maupun kebudayaan pusatnya di timur Pulau Jawa"

Berangkat dari nama Jawa sendiri, memang banyak literatur yang mendefinisikan kata "Jawa". Tetapi dari banyak literatur itu, paling menarik dalam mendefinisikan "Jawa" adalah mengerti.  Iya betul, "Jawa artinya mengerti"

Tentu dari istilah kata Jawa yang berarti "mengerti" ini membuat saya penasaran. Dari mana kata itu muncul "mengerti" sebagai Jawa? Tradisi mistiknya-kah? Slametan pada hari-hari sakral? atau filosofi kejawennya yang masyur? Memang perlu ada penelitian lebih lanjut. Karena saya bukanlah praktisi spiritualisme Jawa, saya tidak dapat mengatakan secara pasti. Takutnya kita nanti saya berpendapat lalu dihadapkan pada praktisi beneran beradu argumen gagap nanti Saya.

Hanya saja saya sebagai Manusia yang terlahir di Jawa, merasakan bahkan menjadi pelaku berbagai mitologi-mitologi tradisi Jawa. Bukan saya meng-agungkan budaya Saya sendiri " Jawa", tetapi jika diagungkan pun apa masalahnya? Itukan budaya leluhur Saya sendiri; menurut Saya Jawa dengan berbagai tradisi didalamnya sangat bermuatan positif, itu penilaian subyektif Saya.

"Sangkan paraning dumadi", "Manunggaling kawula gusti" atau "Bhineka tunggal ika" merupakan: menurut Saya "quote" merepresentasikan bagaimana alam spiritual Manusia Jawa itu sendiri. Tidak heran, berbagai ajaran baik Agama atau Filsafat apapun dan dari manapun diterima baik oleh Manusia Jawa.

Sebagai catatan dalam hal ini Saya membedakan antara Manusia Jawa dan Masyarakat Jawa. Manusia Jawa berarti Manusia yang mengerti, menerima dan mempunyai kesadaran sebagai Jawa itu sendiri. Dimana mereka memegang kemurnian Jawa bersama tradisi filosofinya. Sedikit dari banyak filosofi itu adalah hal yang saya paparkan diatas "Sangkan paraning dumadi", "Manunggaling kawula gusti" atau "Bhineka tunggal ika" dan masih banyak lainnya.

Saya akan mencoba mentafsir berdasarkan pemahaman Saya ketiga kata tersebut; pertama " Sangkan paraning dumadi" merupakan pemahaman spiritual Manusia Jawa akan pemahaman yang esa atau tunggal bahwa; "Manusia berasal darinya dan akan kembali padanya".

Sedangakan "Manunggaling kawula gusti" yaitu pemahaman akan bersatunya pencipta dengan yang diciptakan, jika saya menafsirkan lebih gamblang: " bersatunya Tuhan dan hambanya". Karena manusia dan makhluk cipaan tuhan yang lainnya adalah bagian dari citra Tuhan sang pencipta alam itu sendiri. Maka dari itu semua Agama yang diyakini wahyu dari Tuhan mengajarkan cinta kasih terhadap setiap makhluk ciptaan Tuhan.

Kita bisa mengambil inti dari benang merah syukuran atau tradisi-tradisi Jawa lainnya. Menurut saya syukuran, sesajen dan berbagai tradisi budaya lainnya tentu dilakukan atas dasar kesadaran cinta kasih itu sendiri. Seperti syukuran yang kita kenal sekarang ini, filosofinya adalah cinta kasih bagaimana saling memberi sesama makhluk ciptaan Tuhan.

Dan sesajen yang dipersembahakan Manusia Jawa adalah sebagai media untuk berdoa pada yang maha kuasa, mengingat leluhur bagaimana yang hidup pasti akan mati. Kita sebagai Manusia Jawa pasti tahu, dimana ketika Orang Tua atau Simbah kita yang masih memegang budaya sebagai Manusia Jawa akan melakukan syukuran atau membangun hajat.

Mereka tidak lepas dari media kembang dan kemenyan sebagai penyambung doa terhadap Tuhan yang maha esa. Menurut penelitian bau dupa atau kemenyan dapat mempengaruhi energi sekitar menjadi positif. Saya menilai keluhuran Manusia Jawa sebagai "mengerti" sadar bahwa berdoa haruslah dengan energi yang positif (khusyuk) untuk itu mereka menggunakan Kemenyan sebagai mediannya.

Terakhir tentu "bhineka tunggal ika", saya kira semua orang Indonesia tahu karena kutipan inilah yang menjadi dasar kita berbangsa dan bernegara. "Berbeda-beda tetapi tetap satu jua" kata ini diprakarsi oleh kerajaan Majapahit untuk menyatukan kesadaran bawasanya apapuan Agama kita, Ras kita, Suku kita bahkan ideologi kita "tetap kita adalah Manusia, bersodara, diciptakan dari entitas yang sama yaitu Tuhan".

Memang begitu masyurnya berbagai ajaran dan tradisi mitologi Jawa. Mungkin menjadi pertanyaan, mengapa intolerasi atas nama Agama, Ras dan Suku masih terjadi di tanah Jawa? Kita tahu baru-baru ini ada kasus penolakan warga pendatang yang Agamanya berbeda di Bantul, Yogyakarta. Juga bagaimana perusakan tanda Salib di salah satu pemakaman di Magelang, Jawa Tengah dirusak orang yang tidak dikenal. Dan berbagai perlakuan tidak menyenangkan bahkan tidak jarang penolakan yang dialami Mahasiswa Papua diberbagai Kota dimana mereka belajar.

Disinilah saya membedakan antara Manusia Jawa dan Masyarakat Jawa. Mengapa berbeda? Karena tidak semua masyarakat Jawa adalah Manusia Jawa yang "mengerti" mempunyai kesadaran menjadi Jawa itu sendiri. Masyarakat jawa sendiri hanya mereka yang hidup dan lahir di Jawa. Masyarakat Jawa sendiri kini sudah sangat berbeda dari Manusia Jawa yang dulu dikenal sebagai toleran. Pemahaman masyarakat Jawa yang cenderung melupakan tradisi dan filosofi budayanya sendiri menjadi sebab maraknya intolerasi atas dasar SARA di Tanah Jawa.

Ada yang menarik dari kuliah umum yang diadakan oleh Komunitas salihara 28 Juli 2012 lalu. Pembicaranya sendiri adalah Herman Sinung Janutama, ia adalah budayawan Jawa dari Yogyakarta. Kebetulan materi yang dibahas adalah Ronggowarsito dan Kejawen, masih ada videonya di Youtabe. Ada kata yang menarik " sak komunis-komunisnya saderek/ saudara PKI (Partai Komunis Indonesia) orang Jawa, saya yakin mereka bertuhan" ungkap; Sinung. Manusia Jawa adalah manusia yang memegang tradisi leluhurnya, maka dari itu tidak ada Manusia Jawa yang tidak bertuhan.

Jika semakin hari semakin nyata tradisi Manusia Jawa ditinggalkan oleh masyarakat Jawa. Mungkin tepat dan benar pendapat dari intuisi Jaya Baya. Nanti kalau ada mobil, Rel dan Kereta Api "Wong jowo kari separo" (Manusia Jawa tinggal separo dari masyarakat Jawa).

"Mengenal menjadi Manusia praktis akan mencoba mengenal leluhurnya. Masyarakat Jawa belajarlah menjadi Manusia Jawa kembali, agar Jawa selalu "Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kerto Raharjo". Jadikan Jawa rumah yang aman bagi siapapun dan makhluk dari entitas manapun".

Ditambah tahun ini merupakan tahun politik, ketika kesadaran menjadi Jawa "mengerti" tidak ada, gawat! Tentu masyarakat akan diombang-ambingkan para Politikus atas nama identitas yang gila pada jabatan Politik. Terlebih masyarakat kini telah digilakan oleh para aktor politik akan janji-janji mereka. Oleh karena itu masyarakat cenderung membela buta tanpa berpikir.

Apa lagi isu dari salah satu pendukung calon akan mengerahkan People Power (pergerakan masa) jika pemilu nanti curang. Menurut saya ini adalah ancaman serius, ketika mereka kalah akan membaut kekacauan Negara itu sendiri dengan dalih kecurangan. Tentu sebagai masyarakat harus cerdas dalam bertindak jangan sampai kita (masyarakat) hanya dijadikan alat Politik oleh para politikus culas, yang sebenarnya hanya merugikan waktu dan martabat kita sendiri sebagai Manusia.

Terserah anda percaya siapa yang akan memimpin Negara kita, kalau suka coblos, tetapi kalau kalah jangan pernah anarkis. Sebab tindakan anarkisme tidak hanya merugikan diri kita sendiri tetapi merugikan orang banyak. Jaga sikap dan tetap tenang adalah sikap dari pemilih bijaksana. Jadikan Negara kita tetap aman dan damai di tahun apapun. Pemilu hanya sehari jangan sampai bermusuhan secara berlarut-larut bahkan sampai kita mati.

Kata Bapak: "Jawa bagian timur adalah Bapak lalu, Jawa bagian Barat adalah ibu"

Kata "Bapak" dan "Ibu' bagi Jawa sendiri merujuk pada mitologi yang tidak tertulis dari narasi menjadi Manusia Jawa itu sendiri. Keluarga saya dari nenek memang masih memegang tradisi Kejawen. Itu dibuktikan dari setiap hari-hari tertentu sesajen selalu dibuat, misal hari Selasa Kliwon maupun Jumat Kliwon.

Bapak saya memang tidak seperti nenek saya yang kental akan budaya kejawen-nya. Namun dari setiap tradisi kejawen-nya sendiri masih dilakukan. Masih dengan Bunga dan Kemenyan ketika ziarah ke makam leluhur. Melakukan slametan ketika akan memulai membangun hajat dan mengungkapkan rasa syukur akan nikmat kehidupan. Terkait syukuran sendiri, ada teman yang bertanya kepada saya waktu diskusi beberapa hari lalu. Karena setiap pertanyaan dari teman saya mejurus pada kehidupan sosial manusia, saya-pun menjawab dengan pengertian kebudayaan.

Pertanyaan yang menarik, mengapa ketika orang berduka masyarakat Jawa tetap melakukan syukuran? Menurut saya mengapa tetap melakukan syukuran itu karena bagi masyarakat Jawa suka maupun duka harus tetap disyukuri. Kehidupan tidak akan memisahkan antara suka dan duka makhluk hidupnya. Bagi Manusia Jawa ini merupakan hukum Alam dari kehidupan itu sendiri. Tentu upaya Manusia Jawa mensiasatinya dengan syukuran adalah untuk supaya kejiwaan tetap positif dan berharap mengundang energi yang postif pula dari kehidupan itu sendiri.

Mitologi Jawa dan Pilpres

Budaya kejawen memang tidak lepas dari budaya mistiknya yang tinggi. Untuk itu titah Orang Tua menjadi sangat penting. Bapak saya di samping masih menjaga budaya Kejawen, ide-ide atau pemikiran kehidupannya sedikit banyak dipengaruhi budaya Kejawen. Ungkapan bapak saya tentang Jawa bagian timur adalah "Bapak" dan barat itu "Ibu" tentu banyak arti yang mendasarinya. Selayaknya "Bapak" ia adalah pemimpin rumah tangga, begitupun "Ibu" yang melahirkan kehidupan.

Pemahaman Bapak saya, mungkin pemahaman ini di ajarkan secara turun temurun oleh leluhurnya di bagian barat Jawa khususnya Mancanegara Kulon. Memandang manusia Jawa bagian Timur sebagai keturunan Raja-Raja Jawa. Oleh karena itu pemimpin (Raja) berasal dari Timur. Begitupun jika akan mencari ilmu, kita tahu, Yogajakarta adalah pusat pendidikan dan kebudayaan di Jawa. Belum dengan daerah timur Jawa yang terkenal kemajuan intelektual dan agamanya pada masa itu, dimana bangunan candi-candi megah banyak terdapat disana.

Mungkin karena pertimbangan ini, leluhur Mancanegara Kulon menganggap "bapak" Jawa bagian Timur itu. Memang masuk akal, pusat peradaban Jawa sendiri, dari Ibu Kota, Keraton dan sebagainya berada di bagian timur Jawa. Kita bisa menilik, banyak-kah candi ditemukan di Mancanegara Kulon? sangat jarang! Mancanegara Kulon merupakan sebutan bagi wilayah barat Jawa meliputi Keresidenan Banyumas.

Sebutan "Ibu" bagi wilayah Mancanegara Kulon-pun sangatlah rasional. Tanah yang subur di wilayah Kulon menjadikan bahwa Kulon adalah tempat untuk mecari kebutuhan hidup. Tidak heran jika; ketika orang Mancanegara Kulon akan mencari kepintaran ia ke arah Timur soan "Bapak". Begitupun ketika orang dari Timur akan mencari penghidupan kebutuhan hidup mesti soan "Ibu".

Bukan rahasia umum jika Presiden ke 2 Indonesia Soeharto sering bersemedi di Kawasan Gunung Selok, Cilacap. Tentang apa tujuannya, saya bukan ahli spiritual, jadi biarlah para ahli yang menafsirkan sendiri. Tentu jika saya boleh berpendapat selaku Manusia Jawa yang tajam intuisinya "tidak lebih Presiden RI ke 2 itu hanya meminta restu atau wejangan melalui kontemplasi untuk menggali energi Ibu kehidupan, bagaimana memimpin Negara"

"Gampanganya begini merujuk pada realitas hidup kini, kalau mau kuliah kita ke Yogakarta disana banyak Kampus, ketika kita bekerja, kita ke barat "Jakarta atau Bandung" disana banyak pekerjaan"

Bagaimana korelasi antara Pilpres dan mitologi Jawa? Tentu ini menariknya pilpres 2014 dan 2019. Dimana kedua calon tersebut merupakan keturunan Jawa. Tetapi yang membedakannya adalah, kita tahu Jokowi dari Solo, juga Prabowo ada trah dari Banyumas atau Mancanegara Kulon melalaui Bapaknya "Soemitro Djojohadikoesoemo". Menurut mitologi Bapak saya "Jokowi tetap Presiden".

Ilustrasi: diambil dari kompasiana survey dukungan paslon oleh Bloger
Ilustrasi: diambil dari kompasiana survey dukungan paslon oleh Bloger

Tentu latar belakang Jawa bagian Timur lebih dominan menjadi pemimpin dibanding dengan Mancanegara Kulon. Keturunan Raja-Raja Jawa masa lalu berasal dari sana Jawa bagian timur. Kita tahu pemimpin Indonesia dari Soekarno hingga Jokowi terkecuali Habibi berasal dari Jawa bagian Timur. Tetapi riwayat Raja-Raja Bugis dari Sulawesi Selatan juga mempengaruhi lahirnya pucuk kepemimpinan dari sana.

Sebagai pengingat, ini adalah penafsiran kepemimpinan ditilik dari kebudayaan khususnya Jawa. Terus terang saya netral dalam setiap Pilpres, saya bukan pendukung 01 atau 02, bisa di cek berbagai tulisan Saya. Jika saya membahas Politik pasti hal mendasar dari politik itu yang saya bahas. Bukan anti hanya saja saya malas ketika menjadi fanatik Politik tetapi tidak sampai pada esensi Politik. Gampangannya Saya tidak mau hanya dijadikan tameng atas nama Politik yang kini semakin di identitaskan.

Perkara mitologi tidak tertulis yang diajarkan Bapak saya ini patah dan "Prabowo menjadi Presiden". Tentu saya seneng, berarti dengan trah saya sebagai Manusia Mancanegara Kulon, saya-pun dapat menjadi Presiden Indonesia masa depan. Dengan Prabowo menjadi presiden, teori-teori mitologi dari Mancanegara Kulon yang diajarkan secara turun-temurun itu bisa jadi hanyalah konspirasi dominasi politik Kerajaan Jawa atas Mancanegara Kulon dulu.

Tetapi lihat saja nanti ketika hari Pemilihan Umum itu datang. Kenyataanya juga Prabowo dari dulu mencalonkan diri dari Wakil hingga Presiden saja belum pernah terpilih. Juga bagaimana "Raymond Sapoen" trah Mancanegara Kulon yang menjadi calon Presiden Suriname tetapi gagal juga. Mungkin karena kurang kuatnya trah Raja-Raja pada Manusia Mancanegara Kulon menjadi sebab lemahnya karisma akan kepemimpinan Manusia Mancanegara Kulon itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun