Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mie Instan dan Makanan Masa Depan Kita

24 Februari 2019   21:01 Diperbarui: 8 Mei 2019   18:42 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan ingin seperti adegan-adegan makan di film Jepang atau drama Korea. Jika anda penggemar drama Korea atau film-film Jepang, anda pasti akan sering menjumpai adegan makan dengan Mie Instan.

Memang wajar saja kalau di Jepang atau Korea masyarakatnya makanannya Mie Instan. Mungkin karena cuaca di sana yang berbeda dengan di Indonesia sehingga memengaruhi daya panen padi itu sendiri.

Atau apa mungkin orang sana tidak suka nasi? Saya rasa tidak juga, sepertinya orang sana  tidak segila orang-orang di sini  yang belum makan kalau belum pakai nasi. Terlepas apa pun itu, saya tidak ingin membahasnya terlalu jauh. Saya belum pernah ke Jepang atau Korea, apalagi ngobrol-ngobrol dengan orang sana.

Bahasanya saja, huh, pasti gak tahu, bahasa internasional Inggris pun saya masih blepotan. Tetapi simbah saya menyatukan saya dengan orang belahan bumi mana pun. Nama simbahku mbah Google, bisa menerjemahkan bahasa negara populer.

Ya, Jepang dan Korea termasuk negara populer tersebutlah. Jadi gak perlu susah-susah komunikasi. Sayangnya di Indonesia ini saya tidak  punya teman orang Jepang apalagi orang Korea. Kapan sih negara Korea dan negara Jepang bisa pindah ke Indonesia. Kan bisa berteman kita,trus tanya-tanya.

Intinya saya tidak punya referensi pasti berapa kali Jepang dan Korea panen padi. Saya juga tidak tahu harga dalam satu kilo beras di sana. Tetapi saya hanya bisa memprediksinya saja.

Mengacu pada hukum ekonomi, semakin sedikitnya barang dengan permintaan yang tinggi harganya pasti akan mahal. Kita sama-sama tahu berapa luas wilayah antara negara Jepang dan Korea masing-masingnya, bisa empat atau lima kalinya Indonesia kan? Bahkan bisa lebih! Mungkin? 

Untuk itu saya yakin beras disana pasti harganya mahal. Oleh karna itu mereka tidak setiap makan pakai nasi. Ngirit woy, tidak semua kan orang Jepang atau Korea kaya-kaya?

Contohnya film "Shoplifters " bercerita bagaimana kondisi kemiskinan di Jepang.  Mereka makan juga apapun makanan termasuk Mie Instan, yang pasti masih murah,dan dapat mengenyangkan perut. Terlebih Jepang  dan Korea adalah negara industri maju. Sudah pasti banyak lahan di sana yang digunakan untuk kepentingan industri, perumahan dan perkantoran.

Saya juga terkadang bertanya-tanya, mengapa stigmatisasi makan Mie identik dengan tidak sehat? Apakah dalam realitanya benar atau hanya persepsi dari suatu delusi masyarakat yang masih berlimpah sumber daya nasi seperti Indonesia?

Terlepas dari berbagai persepsinya, kalau memang Mie Instan tidak membuat sehat dan banyak mengandung penyakit di dalammnya mengapa masih dijual? Bukankah menjadi hak konsumen untuk terlindungi ketika mereka membeli  suatu produk?

Sekelas Jepang dan Korea saja yang teknologinya maju masih banyak masyarakatnya yang makan Mie Instan. Indonesia sendiri mengimpor prodak mi dari Jepang kan? Dengan realita seperti ini apakah masih patut Mie Instan terbalut pusaran stigma tidak sehat? Sehat atau tidak sehat, daripada lapar mending kenyang walaupun makan Mie Instan. Bukankah malah justru yang mengundang penyakit itu seringnya kelaparan?  

Jawa  sebagai Pelopor Tingginya Konsumsi Makan Mie Instan di Masa Depan

Umumnya negara berkembang di belahan bumi manapun. Negara berkembang berarti bertransformasi menuju masyarakat industri maju. Tak ayal pembangunan-pembangunan digalakkan, namun di Indonesia simpul ekonomi masih terpusat di Jawa. Ciri ekonomi sentralisme masih menjadi garis besar halauan ekonomi nasional Indonesia dari masa ke masa.

Oleh karena Jawa adalah sentralnya ekonomi, pembangunan-pembangunan infrastrukture muktahir lebih banyak dibangun di Jawa. Untuk itu Jawa juga seperti menjadi contoh dasar pembangunan ekonomi nasional Indonesia. Pembanguan-pembanguan yang di bangun untuk fasilitas sarana ekonomi menjadi negara maju bukan tanpa masalah di Jawa. Salah satu masalah tersebut adalah terus terkikisnya lahan produktif pertanian sebagai bahan utama pangan masyarakat jawa itu sendiri.

Perluasan industri terus menggerus sawah-sawah produktif pinggiran kota di sebagian besar kota-kota di pulau Jawa. Kini banyak dari sawah-sawah pinggiran kota dijadikan Perumahan, Gudang dan Pabrik-Pabrik. Jelas berkurangnya lahan produktif akan memperngaruhi harga pangan itu sendiri di Jawa.

Memang saya tidak punya data valid berapa setiap tahun tanah produktif di Jawa  berkurang. Namun secara kasat mata kita bisa menghitung bahwa untuk membangun Tol Trans Jawa, Bandara baru di Yogyakarta, PLTU di Batang dan Cilacap belum Perumahan-Perumahan bersubsidi pemerintah dan sebagainya sangat mengerus signifikan lahan produktif Jawa.

Dengan pembangunan yang terus berkelanjutan di Jawa membuat Jawa semakin menjadi pulau industri. Konsekuensi dari wilayah industri yaitu bersiap menerima ledakan penduduk dari belahan pulau lain yang datang untuk bekerja. Dijadikannya pulau Jawa sebagai pulau industri berarti akan melepas lekatan Jawa sebagai pulau dengan tingkat kesuburan tanah yang tinggi.

Jika pembangunan sebagai wilayah industri di Jawa terus berlanjut jelas akan memunculkan masalah baru bagi masyarakat Jawa. Masalah baru tersebut adalah naiknya harga pangan karna produksi pangan di jawa berkurang. Tentu tidak mungkin berkurannya lahan malah menambah produksi pangan itu sendiri.

Di mulai dari saat ini dan akan berlanjut di masa depan. Masyarakat Jawa tidak akan bisa swasembada pangannya sendiri karna terus berkurangnya lahan pertanian.  Mau tidak mau pangan harus didatangkan dari pulau lainnya yang dapat mencapai swasembada.

Jika pulau lain pun tidak dapat swasembada pangannya sendiri, impor menjadi jalan tengah. Dampak impor sendiri bagi masyarakat adalah menciptakan persaingan harga pangan dalam negeri, mencipatakan pengangguran baru karena tidak terisinya produksi dalam negeri dan membudayakan praktik konsumerisme.

Saya menduga bahwa proses industrilasasi Jawa masih panjang. Pembanguanan-pembangunan akan terus berlanjut dengan mengorbankan lahan-lahan produktif yang tersedia di Jawa. Harga pangan tinggi jelas akan membayangi kenyataan masyarakat Jawa itu sendiri di masa mendatang. Mungkin industerialisasi Jawa adalah tonggak penghancur kemakmuran masyarakat pulau Jawa itu sendiri. 

Untuk itu, upaya bertahan dalam masyarakat industri maju harusalah disiasati sejak saat ini. Bawasannya untuk seperti Jepang dan Korea saat ini akan terjadi di masa depan  Jawa. Bahan makanan juga akan bertansformasi layaknya Negara industri maju.

Makanan instan produk industri akan menjadi makanan pokok masyarakat jawa di masa depan. Karna yang memungkinkan makanan harga murah dan membuat kenyang adalah produk-produk makanan industrial salah satunya adalah Mie Instan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun