Pilkades telah usai, hari pemilihan sendiri dilaksanankan tanggal 20 februari 2019 kemarin. Tentunya pilkades bukan hanya di desa saya yang menyelenggarakannya. Banyak desa di Kab. Cilacap bagian timur juga melaksanakannya di hari yang sama.
Desa saya sendiri ada 3 calon kades merebutkan kursi kepala desa. Sedangkan yang terpilih calon nomer urut 3. Selisih perolahan angkanya tidak terpaut terlalu jauh. Calon nomer urut 1 sekitar 1053 pemilih, No. 2 sekitar 887 pemilih dan No. 3 sekitar 1277 pemilih. Suara tidak sah ada sekitar 23 suara.
Jumlah pemilih keseluruhan sebenarnya sekitar 4000 jiwa lebih, namun karna masalah waktu tidak semua berpartisipasi termasuk saya. Saya tidak berpartisipasi karena kebetulan hari tersebut bukan libur nasional. Ditambah karena ada acara keluarga 3 hari sebelum pemilihan membuat saya pulang kampung terlebih dahulu.
Seperti kebanyakan anak muda desa, saya pun menjadi anak perantau untuk bekerja. Beruntungnya saya merantau masih di wilayah Jawa Tengah jadi tidak terlalu jauh dengan kampung halaman saya. Dalam sebulan, saya pulang kampung dijadwalkan satu kali, maklum, menyisakan uang buat ditabung juga agar tidak berat diongkos untuk bolak-balik kampung.
Karena dijadwalkannya sebulan dalam sekali pulang dan sebelum hari pemilihan juga pulang kampung. Saya jadi tahu bagaimana perkembangan dan situasi politik sebelum pemilu. Hawa panas dari suhu politik sangat terasa. Masyarakat terbagi, dari masing-masingnya berkiblat pada calon pilihannya.
Tidak jarang dalam bergaul pun tidak mau campur dengan masyarakat lainnya yang berbeda haluan politik. Saya tahu karena dekat rumah saya ada pos, dimana tempat itu sebelumnya tempat bercengkrama ngobrol-ngobrol dengan tetangga. Karna tahun politik, pos dijadikan posko pemenangan salah satu calon. Bahkan banyak juga orang-orang dari tempat lain datang menyambangi, rata-rata yang satu halauan politik.
Alasanya adalah untuk apa nongkrong dan ngobrol berbeda pandangan politik? Kalau menurut saya ada benarnya juga sebelum berdebat argumen calon pilihan masing-masing. Dimana sikap tersebut bisa sebagai pelerai sebelum terjadi pertengakaran karna berbeda halauan. Meskipun terlihat tidak akur, tetapi hal tersebut lumrah dalam kontestasi politik. Sudah biasa tahun politik membuat terbelahnya masyarakat.
Namun yang harus dihindari adalah menjadi permusuhan abadi walaupun pemilu sudah terlewati. Memang ada saja yang perseteruannya mengabadi, tapi sebagai masyarakat muktahir, dewasa pada pilihan politik merupakan hal yang penting agar tetap terjalin hubungan yang sehat antar masyarakat. Dalam pemilu kalah menang adalah hal biasa. Tidak mungkinkan kursi yang seharusnya diduduki satu calon karna calonnya menang semua dibagi jadi tiga?
Keadaan pasca pemilu saya memang tidak tahu, karna saya tidak berada dikampung halaman. Saya mengharap tidak ada keributan berarti karna ketidakpuasan dari team pemenangan masing-masing calon yang kalah. Bukan apa, politik desa menurut saya paling rawan terhadap gesekan yang dapat mengakibatkan keributan.
Sebab masyarakat sendiri-lah team pemenangan calon kades tersebut. Jadi sangat mudah tersulut emosi jika ada provokasi. Terlebih dalam demokrasi kecederungan berkerumun dengan satu halauan politik menjadi biang permusuhan itu sendiri. Tapi untung saja, kabar dari teman saya pasca pilkades situasi aman-aman saja.
Menurut saya dunia politik-lah yang menciptakan mana lawan dan mana kawan dalam sejarah perabadan masyarakat.
Mahalnya Ongkos Politik Tingkat Desa dan Nasional