Mohon tunggu...
Toto Priyono
Toto Priyono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kamu bintang besar! Apa yang akan menjadi keberuntungan Anda jika Anda tidak memiliki sesuatu yang membuat Anda bersinar? -Friedrich Nietzsche-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Manusia, Kehendak Akan Kuasa dan Ingin Benarnya Sendiri

3 Februari 2019   13:38 Diperbarui: 5 Februari 2019   16:25 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebenaran merupakan suatu yang subyektif, bagi saya itulah kebenaran. Mengapa saya bilang subyektif karena setiap orang ingin pembenaran bagi dirinya sendiri. Pada dasarnya mereka ingin menonjol dibalik gempat-gempitannya dunia eksistensial muktahir. Meminjam kata dari seorang filsuf Jerman "Friedrich Wilhelm Nietzsche" manusia dan kehendak akan kuasa. 

Tidak pernah salah ada kehendak kuasa dibalik kekuatan manusia. Tentang opininya yang harus terakui khalayak luas sebagai dirinya saat ini dengan persepsi kebenarannya. Lalu digunakan sebagai dasar kata "paling benar" memang demikian sangat manusiawi. Dan kata Nietzsche, itu biasa sebagai manusia " the will to power" untuk menciptakan kehidupan yang dasarnya kompetitif. 

Mungkin kordat saling mengalahkan manusia tidak akan pernah selsai sampai punahnya spesies manusia itu sendiri. Salah dan benar akan terus diperdebatkan dalam argumentasi kehidupan, baik semesta politik atau semesta wacana pengetahuan. Bahkan jika kata-kata tidak bisa membinasakan jiwa yang keblinger, apa boleh buat, "angkat senjata". Itulah kata Bung Karno mengembarakan semangat juang rakyat yang sependapat dengannya untuk mencapai kuasa sebagai negara yang merdeka. 

Kuasa dan manusia sepepertinya memang tidak akan pernah terpisah. Tidak untuk bisa menekan manusia akan kuasa dan kehendaknya, tetapi cobalah dengan menggunakan nalar publik yang dalam. Dimana sesuatu ini tidak akan berlanjut para perang fisik atau perang argumentatif yang justru semakin merendahkan tabiat sebagai masing-masingnya. Bahkan merusak tatanan sosial yang sudah terjalin rapi sesama manusia atas nama kehidupan bersama.

 Kita memang tidak bisa dengan mudah begitu saja memadamkan persepsi yang kita anggap benar. Kebenaran tidak bisa hanya satu arah, kebenaran-pun bukan suara dari mayoritas. Kebenaran hanyalah tentang yang benar, dirasakan dengan rasa dan berbagai jenis pengalaman. Tetapi ketika akan dilajutkan mencari kebenaran, tetap harus dengan mimbar intelektual. Seseorang harus punya dasar kuat akan setiap argumen-argumentasinya.

Sumber gambar : liputan6.com
Sumber gambar : liputan6.com
Biarlah nanti publik yang menilai dari segi mana kekurangan dan kelebihan tersebut. Jangan seperti dungu yang prilakunya ganjil tanpa teori dialektika yang kuat. Apa mungkin jaman muktahir ini kehendak kuasa tidak bertrasnformasi menjadi kendak untuk mewakili suara publik? Kehendak kuasa masih seperti zaman bar-bar dimana kekuatan yang besar akan berkuasa dengan setiap argumen-argumen politik atau pengetahuannya?

Saya kira ada kekakuan yang terjadi pada masyarakat dewasa ini perkara kehendak akan kuasa. Masyarakat dewasa ini seperti melahirkan seorang pengecut yang ingin berkuasa dengan argumennya. Keganjilannya yaitu dengan membawa nama pengikut dan simpatisannya untuk membenarkan dirinya. Mereka cenderung ogah berdebat bahan argumentasi yang bisa dinilai publik dengan berbagai sisi paradoksnya masing-masing.

Sumber gambar : facebook JRX
Sumber gambar : facebook JRX
Mungkin ketika kehendak kuasa tidak dibarengi nalar publik yang kuat akan medatangkan problematika yang baru. Tatanan masyarakat muktahir akan mengalami degradasi akan saling berpendapat benarnya sendiri tanpa pertimbangan yang publik ingin lihat baik dan buruk pendapat itu. 

Celakanya pengikutpun tidak punya idealismenya untuk tidak memihak siapapun. Pengikut terjebak yang diikuti, keadaan inilah yang justru mengaburkan suasana menjadi ketegangan yang akan terus berlajut bahkan tidak ada akhirnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun