Kebenaran merupakan suatu yang subyektif, bagi saya itulah kebenaran. Mengapa saya bilang subyektif karena setiap orang ingin pembenaran bagi dirinya sendiri. Pada dasarnya mereka ingin menonjol dibalik gempat-gempitannya dunia eksistensial muktahir. Meminjam kata dari seorang filsuf Jerman "Friedrich Wilhelm Nietzsche" manusia dan kehendak akan kuasa.Â
Tidak pernah salah ada kehendak kuasa dibalik kekuatan manusia. Tentang opininya yang harus terakui khalayak luas sebagai dirinya saat ini dengan persepsi kebenarannya. Lalu digunakan sebagai dasar kata "paling benar" memang demikian sangat manusiawi. Dan kata Nietzsche, itu biasa sebagai manusia " the will to power" untuk menciptakan kehidupan yang dasarnya kompetitif.Â
Mungkin kordat saling mengalahkan manusia tidak akan pernah selsai sampai punahnya spesies manusia itu sendiri. Salah dan benar akan terus diperdebatkan dalam argumentasi kehidupan, baik semesta politik atau semesta wacana pengetahuan. Bahkan jika kata-kata tidak bisa membinasakan jiwa yang keblinger, apa boleh buat, "angkat senjata". Itulah kata Bung Karno mengembarakan semangat juang rakyat yang sependapat dengannya untuk mencapai kuasa sebagai negara yang merdeka.Â
Kuasa dan manusia sepepertinya memang tidak akan pernah terpisah. Tidak untuk bisa menekan manusia akan kuasa dan kehendaknya, tetapi cobalah dengan menggunakan nalar publik yang dalam. Dimana sesuatu ini tidak akan berlanjut para perang fisik atau perang argumentatif yang justru semakin merendahkan tabiat sebagai masing-masingnya. Bahkan merusak tatanan sosial yang sudah terjalin rapi sesama manusia atas nama kehidupan bersama.
 Kita memang tidak bisa dengan mudah begitu saja memadamkan persepsi yang kita anggap benar. Kebenaran tidak bisa hanya satu arah, kebenaran-pun bukan suara dari mayoritas. Kebenaran hanyalah tentang yang benar, dirasakan dengan rasa dan berbagai jenis pengalaman. Tetapi ketika akan dilajutkan mencari kebenaran, tetap harus dengan mimbar intelektual. Seseorang harus punya dasar kuat akan setiap argumen-argumentasinya.
Saya kira ada kekakuan yang terjadi pada masyarakat dewasa ini perkara kehendak akan kuasa. Masyarakat dewasa ini seperti melahirkan seorang pengecut yang ingin berkuasa dengan argumennya. Keganjilannya yaitu dengan membawa nama pengikut dan simpatisannya untuk membenarkan dirinya. Mereka cenderung ogah berdebat bahan argumentasi yang bisa dinilai publik dengan berbagai sisi paradoksnya masing-masing.
Celakanya pengikutpun tidak punya idealismenya untuk tidak memihak siapapun. Pengikut terjebak yang diikuti, keadaan inilah yang justru mengaburkan suasana menjadi ketegangan yang akan terus berlajut bahkan tidak ada akhirnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H