Seperti kegilaan tanpa akhir. Bagiku waras berarti harus siap menjadi lebih gila dari orang yang benar-benar gila. Waras berarti terpatri pada kewarasan pikiran yang dapat berpikir sedemikian rupa. Terkadang kehebatan berpikir membendung singgasana tubuh itu sendiri. Tentang kondisi beban hidup yang melelahkan. Tubuh seakan dipaksa melelahkan dirinya dikala suasana pikiran sedang ruwet. Ia menjalar kedalam hati yang keras bagai petir yang menggelegar sore ini.
Bukan perkara ekonomi, bukan pula perkara apa yang kurang dalam hidup ini. Kita seperti pertapa yang paling lelah diantara dunia. Setiap saat bertarung demi legalisasi ketentraman dalam diri. Memang bukan perkara yang mudah melepaskan. Tidak mudah juga untuk lari dari kenyataan yang tergambar. Tetap saja manusia dihadapkan pada suasana hatinya sendiri. Perkara kelemahan pada titik tubuh, hujan yang menderai kepala waktu itu. Sudahlah badan ini ada kalanya rapuh diterjang keganasan alam yang sedang merasa hebat-hebatnya.
Sungguh tidak tergambar sebelumnya. Kondisi mentalku seakan menggambarkan kondisi yang rusak porak-poranda. Apakah ini akibat tubuh yang lelah malam ini? Rasanya tidak ada lagi dooping yang mujarab. Asap rokok aku hirup lagi dengan sedikit fermentasi mentol. Tetapi hanya mengebulkan mulut yang tergerak berdasarkan pikiran ini.
Aku sedot batang rokok ini dengan kedamaian. Sedikit berharap pada nyamanya pikiran dan terpecahnya suasana hati ini. Rasanya hari-hari sedang mengundang masalah. Dan kucupetan sandaran yang hanya sebatas itu-itu saja menjadi sebab. Asalkan kenyamanan ini hadir, mungkin serangan psikologis akan berganti menjadi serangan rudal yang menerjang. Akan diam-diam dan menunggu bom waktu itu datang. Haruskah aku berteriak pada dunia? Jangnlah aku berpikir mengakhiri hidup ini?
Menjadi manusia memang haruslah tidak gampang menyerah. Kekalutan dan kegembiraan sekan beriringan dengan kondisi hidup ini. Terus terang tidak ada yang benar-benar menyakini bahwa kebahagiaan akan abadi seperti halnya udara, air juga tanah. Tentang tubuh yang tidak akan lagi bugar pada akhirnya. Seperti melatih untuk hidup, itulah manusia. Beban demi beban haruslah diterima. Mungkinkah ini tanda bahwa aku harus memeluk tubuh wanita malam ini untuk menjadi tenang?
Seperti menunggu hujan reda, sembari merenung aku tertawa, ada apa dengan diriku ini? Karma yang mungkin datang, apakah yang telah aku perbuat sehingga membuat kehidupan ini seakan tidak pernah ada wanita. Aku selalu penuh curiga, penuh berpikir, dan selalu mempertimbangkan sosok wanita. Aneh inilah diriku, setetes duka nestapa akankah hadir bahagia didepan sana. Menyedihkan bagi manusia yang lelah. Bersandar dan bersandar, hanya imajinasi yang terang untuk mengharapkan malaikat hadir tanpa permisi terlebih dahulu.
Kau malaikat penyembuh lelah, akankah kau hadir diwaktu yang tepat seperti jalannya energi ketertarikan? Sembari menghela napas yang terkikis ampas kopi. Tidak ada lagi yang akan aku pandang pada akhirnya.
Ketakutan seakan menghebat hari demi hari. Tidak pernah musnah seperti kawanan dinosauris yang hanya menjadi hewan legenda. Mungkin kata-kata yang aku ciptakan hanyalah untuk melepas angan-angan. Dan aku rindu aku untuk pulang pada pelukan kehangatan tubuh seorang wanita. Kecemasan dalam kesepian apakah itu akan menjadi makna terdalam jawaban dari luasnya samudra kehidupan.
Hanya bisa menghela napas pada akhirnya. Sesak dibalik hawa dingin hujan malam ini. Ternyata tidak mudah dalam menjalani hidup dengan menjadi manusia. Kenyataan seperti ada yang salah dari manusia. Namun sepertinya tidak satupun manusia menyadarinya. Kesendirian yang harus dijalani tiada teman yang menerangi. Tetapi didalam rasa kita ada diri kita yang saling berkomunikasi. Satu yang seakan menjadi dua dalam setiap perbincangan-perbincangannya. Akankah semua hadir bagaikan bintang yang ditunggu malam ini?
Melelahkan sekali harapan menununggu bintang dikala hujan. Acap kali ia ternoda doa-doa yang menahan datangnya banjir. Satu dari mereka menyenangi hujan, diantara mereka resah dengan datangnya hujan. Sampai-sampai kita berat sekali rasanya bersyukur pada setiap nikmat yang ada. Tidak ada yang salah dari hujan karna setiap musim ia datang.Â
Manusia hanya tidak pernah sadar berdampingan dengan alam. Ia tidak kenal dengan alam yang telah hidup bersama sebelum manusia. Mungkin kitalah yang membuat keterasingan itu sendiri seperti keruwetan hidup yang tidak pernah kita sadari. Untuk itu manusia waras hanyalah kegilaan tanpa akhir yang harus dijalani.