Tahun politik merupakan tahun dimana kejelasan orang-orang ganjil dikemukakan secara gambalang. Tidak peduli itu dari desa terpencil atau orang-orang metropolitan. Mereka berlomba menjadi suksesor yang belum tentu kenal dengan para suksesinya. Mereka mengenal calon hanya sebatas nama, retorika dari sudut media dan jargon-jargon kampanye yang mulai di-propaganda-kan.
Atas dasar itu saya menyebut fenomena tahun politik merupakan suatu fenomena dimana dengan mudahnya orang menjadi cinta dan jatuh cinta secara dalam. Mengapa saya sebut dalam? Karena cinta mereka ditunjukan dalam bentuk, gerak dan propagada-isme.Â
Dengan rela mereka menjadi relawan-relawan walaupun tidak dibayar. Kata-kata yang menyeruak darinya tanpa pamrih, pengakuannya luar biasa, ikhlas lahir batin. Tetapi pengakuan itu seperti patut dipertanyakan kembali. Apakah itu benar atau ada motif dibelakangnya?
Tetapi jika saya analisa, kata-kata tersebut tidaklah murni. Tetap se-ikhlas-ikhlasnya seseorang tidak ada yang ikhlas banget. Apalagi berada dalam jaman masyarakat muktahir ini. Setiap orang punya dasar pamrih yang tidak dapat diingkari sebagai manusia.Â
Para suci-pun tetap pamrih adanya dengan ingin mempunyi jiwa yang bersih. Jadi akuilah jika kepamrihan itu nyata adanya dan tidak usah terus dan menerus mengikarinya. Setiap manusia melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu
Dari dalam semesta wacana politik-pun merupakan sebuah kepamrihan para relawan dan segala macam bentuk dukungan-dukungannya. Â
Kepentingan, argumentasi politik dan cinta atas dasar politik
Sebut saja Dakim namanya. Setiap hari di dalam pikiranya adalah momentum pilpres. Terus ditunggunya hari pemilihan umum itu datang. Lini masa media sosialnya dipenuhi dengan postingan-postingan bernada provokatif dimana kecondongan menyukai calon tertentu. Sialnya adalah ia hanya membagi opini orang lain diberanda media sosialnya.Â
Sekiranya artikel apa yang bisa untuk menjatuhkan calon lain angkut. Tetapi saya tidak tahu itu terbagi untuk kali keberapa sampai pada beranda Dakim. Saya rasa berbagi artikel pada lini masa media sosial seperti jarring laba-laba yang jika diruntut dari awal seperti membentuk sarang yang sangat luas.
Dalam demokrasi sah saja menyuarakan apa yang ingin disuarakan. Bukankah lebih disayangkan jika apa yang disuarakan tidak dengan sesuatu yang unik dan menarik? Mungkin dengan karya seni dalam bentuk gambar atau karya sastra muktahir? Namun jelas, lebih sulit membuat karya sendiri dari pada tinggal klik terus mengahsilkan suara dari dalam beranda orang lain yang satu pemikiran.Â
Jika keadaan ini terus belanjut Indonesia akan kehilangan semesta kreatifnya dimana mentalitas intelektualnya hanya sebatas bagi membagi tanpa menggali dari intelektualitasnya sendiri.