Aku kembali membuka sesuatu yang sudah usang, sudah lalu bahkan mungkin akan tidak terkenang lagi. Bagaimanapun buku itu akan tetap dibaca, bagi mereka yang ingin membacanya kembali.Â
Sebenarnya banyak poin yang ensensial, dimana kita perlu melihat masa lalu untuk berpijak pada apa yang dinamakan masa depan. Menganalisa, menguraikan masalah setiap jaman dan bagaimana memperlakukan diri bertahan dengan jaman.
Waktu itu aku teringat, betapa pentingnya bacaan pengetahuan itu. Aku memang tidak memperhitungan diriku sebagai yang intelek atau yang kata-katanya akan di ikuti banyak orang.Â
Aku sadar aku hanya orang kecil tanpa akses kekuasaan ataupun modal yang meluber untuk menjadi orang yang diikuti, tenar bahkan menjadi sosok panutan yang populer dikalangan para pengikut. Dahulu yang terlintas dikepalaku adalah bagaimana aku mengisi aku, memperlakukan aku dan berusaha belajar mempelajari aku.
Perkenalanku dengan buku hanyalah rasa penasaran pada masa lalu, masa dikala sesuatu hanya menjadi kenangan. Tetapi waktu itu aku punya keyakinan, hidup pada masa kini adalah sambungan hidup dari masa lalu, yang terukur, tetap juga akan ada akhir dari setiap kisah-kisahnya dimanapun dan bagaimanapun waktunya. Sesuatu yang menjadi ganjalan pada apa yang aku ingin lakukan adalah minat yang aku tuju, mengapa aku meminati filosofi? Entah akupun tak tahu apa maksud dari semua itu.
Lambat laun seakan aku menjadi tahu, minat manusia tumbuh bukan tidak ada yang dimaksud. Bagiku minat diri adalah kebutuhan untuk mengisi diri. Meskipun jawab terkadang telat menjawab tetapi dalam rasa ada yang terasa penuh, seakan minat tetap menjadi minat yang harus ditunaikan. Minat diri terlahir mengikuti diri, pengalaman dari diri, dan suara yang tidak terkenal yang lahir dalam diri.Â
Kini setelah aku membaca, aku mulai menalar diriku, menalar semestaku dan menalar apa saja yang bisa dinalar dari setiap pengalaman-pengalamnku.Â
Hampir setiap hari aku mencari sesuatu, selalu sesuatu yang memenuhi diri dan setiap rasa-rasaku. Tiada hari-hari tanpa menyelami diri, sebenarnya untuk apa hidup ini. Saat itu aku mulai bertanya pada takdir, menghatam takdir dengan sinis, mengapa aku ada dikala keadaanku tidak sama seperti mereka yang sudah terbangun nikmat dalam hidupnya? Rasaku seakan mengiang, membelot pada arah dan pergi mencari arah-arah baru memenuhkan hidupku.
Aku mencari sesuatu itu kebarat- ketimur dan sekarang kearah utara. Menjadi pengembara dadakan waktu itu, hidup tanpa tertuju hanya sebatas mencari penghidupan dalam duniaku. Sekian lama terlalui, ada suara dari takdir, seberapa kerasnya batu ia tidak melawan untuk tidak menjadi batu. Dari kejauhan memanggil mengapa tidak merekonsiliasi diri dengan takdir, seorang biksu pernah berkata takdir tidak akan bisa dilawan, saat itu aku ingin pulang pada takdir, berjalan beriringan dengan takdir.
Setelah semuanya terjadi, aku mulai mengenal manusia, mengapa manusia hidup dan ada takdir selalu hadir berkata. Sesekali aku mulai merasa hidup adalah bagaimana diri kita, mau kita dan pencapaian kita.Â
Mungkin orang-orang yang kita lihat nikamat merupakan orang yang hidup mencari kenikmatan. Begitupun dengan orang-orang yang populer menyandang nama besar mungkin saja itu yang ingin mereka capai. Dan tentang aku? Akupun bingung, rasanya aku jauh dari yang banyak orang-orang kejar dan banyak orang ingin mencapai.