Rasanya-rasa ini tidak pernah terbagi, didalam otakku seperti menelan racun. Ia normal tetapi banyak bahan yang terbagi untuk ditelaah sebagai makna. Tetapi memang apapun manusia butuh kebanggaan atas dirinya, berusaha keras bahkan setidaknya tidak pernah lelah untuk berjuang.
Kini aku seperti pulang pada arah dimana tujuan hanya itu-itu saja. Hampa, rasa bangga yang tak kunjung besar adanya. Aku seperti berlari tanpa sebab, sama halnya lintasan kereta, ia ada namun hanya lingkarannya saja, dengan pemeberhentian yang pasti hanya kota-kota itu saja.Â
Memang kalau ingin lebih, haruslah keluar pada jalur yang ada. Ya, apa daya sejengkal keberuntunganpun tak kunjung datang. Melihat bagaimana siklus alam, nyatanya semua ada waktunya, tidak asal, keberuntungan pasti ada namun belum terlihat rimbanya. Tersisa pertanyaan mengapa aku harus percaya itu ada waktunya? Ya, mungkin upaya tenang dalam berpikiran, manusia ini sungguh tak mampu menjamin kepastiannya.
Meskipun kian hari kian jatuh dari aral, terkadang membingungkan, sedikit minta banyak dan kekurangan adalah bencana. Tidak lain hanya bertahan saja dalam aral, mengais-ngais rasa bahagia dalam kekurangan ini. Gedung tinggi serasa jauh aku lihat, apakah ada yang kian dekat? Ya hanya mensyukuri adanya rasa saja.
Kesulitan ini mesti akan berujung, untuk mudah memang harus berjuang, setidaknya prihatin dengan keras memaksimalkan apa yang telah didapat. Kerancuan tidak setiap kali muncul, ia hanya sempat singgah dimana kita memang hendak menyinggahinya.
Dunia memang tidak mengutuk dimana adanya rasa mudah dan sulit, hanya saja dunia terlalu adil untuk berbagi keadilan. Bahagia ada kalanya datang, sengsarapun tak lupa hadir. Setiap ada kelebihan pasti ada kekurangan. Mungkin masalah terbesar manusia ada pada hatinya, ia terkadang kurang tetapi ingin dilebihkan, lebih tetap ingin dilebihkan lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H