Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Man Jadda Wajada di Negeri 5 Menara the Movie

3 Maret 2012   07:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:35 861 0

Akhirnya film Negeri 5 Menara yang dinanti-nanti telah tayang, walaupun saya telat mengetahuinya. Film yang diadaptasi dari novel karya A.Fuadi  yang terinsiprasi dari kisah nyata sang penulisnya ini mengetengahkan kisah tentang mimpi yang menjadi kenyataan sebagai buah dari keuletan dan rasa kesetiakawanan dan sebuah pesan agar kita mau merantau, tidak jadi katak dalam tempurung.

Dikisahkan Alif, seorang anak yang memiliki cita-cita ingin menjadi seperti Habibie, harus berperang melawan dirinya untuk rela menanggalkan cita-citanya demi memenuhi harapan ibunya yang menginginkannya sekolah di Pesantren Madani  (PM) Ponorogo agar ia menjadi seorang ulama yang  dirasa sang Ibu putranya akan lebih bermanfaat bagi umat, seperti halnya Buya HAMKA yang sama-sama berasal  dari Maninjau Sumatera Barat. Lalu dengan diantar sang ayah, dengan berat hati berangkatlah Alif ke Ponorogo. Hari-hari pernuh suka dan duka di PM dilaluinya bersama 5 orang temannya yang berasal dari berbagai daerah.

Di awal belajar, ustadz dan kyai di PM memberikan motivasi dan inspirasi kepada para santri. Hal itulah yang membangkitkan semangat  6 orang bersahabat yang memiliki julukan sahibul manara ini memiliki cita-cita yang tinggi yaitu mengunjugi lima menara yang ada di 5 negara. Untuk mewujudkan impian mereka, mereka selalu ingat “mantra” yang diajarkan ustadz  mereka, yaitu man jadda wajada (siapa yang bersungguh-sungguh maka dia akan berhasil).  Film ini diakhiri dengan reuni sahibul manara di sebuah menara di London Inggris.

Film yang disutradarai Affandi Abdul Rachman yang merupakan sutradara muda Indonesia yang menyabet gelar kelulusan Magna Cum Laude dari Columbia College of Hollywood LA dan pernah mendapatkan penghargaan The Most Professional Set ini melibatkan wajah-wajah baru yang ditampilkan sebagai pemeran utamanya. Film ini dalam penggarapannya terlihat jeli, contohnya seperti ketika lokasi syuting di Bandung, kendaraan yang terlihat lalu lalang di jalan raya disesuaikan dengan model kendaraan yang ada saat sang penulis masih sekolah. Logat para pemainpun seperti mirip dengan penutur asli setting film ini.

Karena film ini adalah film pendidikan maka tidak heran bila kata-kata bijak kerap kita jumpai, misalnya  saat ustadz Salman Ali memberikan inspirasi di awal belajar di kelas yang terengah-engah berusaha memotong sepotong kayu dengan pedang tumpul. Dikatakan bahwa bukan karena tajam kayu bisa dipotong, tapi karena ketekunan dan kesungguhan maka orang akan berhasil. Dari sinilah diajarkan ungkapan yang terkenal di film ini, yaitu “Man Jadda Wajada”.

Dari seorang pemimpin redaktur majalah sekolah pun saya mendapatkan kata bijak tentang hebatnya menulis yaitu menulis bisa merubah dunia. Kalimat ini disampaikan sang pemred yang diperankan Andhika Pratama yang terlihat nyentrik ini ketika memberikan semangat kepada Alif saat dia melamar menjadi wartawan majalah sekolah yang merupakan kegiatan ekstra kurikulum PM.

Film yang syuting di beberapa wilayah Indonesia yang berjauhan dan juga London Inggris yang katanya membutuhkan sekitar 1 juta penonton untuk balik modal, di mata saya sebagai penonton yang belum membaca novelnya meninggalkan beberapa kesalahpahaman saat menontonya. Misalnya saya kira pemeran utama saat itu baru saja lulus SMA sehingga dia selalu menyebut-nyebut ITB, tapi ternyata dia baru lulus sekolah setara SMP. Ini dikarenakan pakaian seragam yang tidak menunjukkan tingkat sekolah mereka. Tentunya ini karena disesuaikan dengan kondisi saat itu dan kondisi Sumatera Barat yang mengharuskan siswa laki-laki memakai celana panjang dan warna hijau.

Film ini mengetengahkan satu episode saja dari kehidupan pemeran utama, yaitu masa mesantren setingkat SMA di PM. Tidak dijelaskan apakah akhirnya si pemeran utama berhasil meraih cita-cita utamanya, yaitu kuliah di ITB.

Biasanya bila kita punya cita-cita sekolah atau kuliah di suatu kampus, saat berada di kota kampus itu berada, pasti akan mengeksplor kampus itu. Nah, saat sahibul manara berlibur ke Bandung, tidak terlihat antusiasme dari sang pemeran utama ketika berada di Bandung. Antusiasme itu misalnya dia keliling kampus ITB. Tentu saja kampus dan terutama logo ITB-nya diperlihatkan. Saat Alif bertemu sobat sekampungnya pun saya rasa kurang alamiah. Alif terlihat tiba-tiba saja sudah berdiri seorang diri di depan sebuah rumah tanpa disertai kawan-kawannya. Jangan lupa, Alif ini anak yang baru saja keluar kampungnya, tentunya akan sulit mencari alamat bila dia hanya sendirian. Alangkah baiknya bila dia datang bersama-sama teman-temannya yang lain dan mengenalkan teman sekampungnya itu pada teman-teman pondoknya.

Saat pulang dari Bandung, terlihat para bocah ini menaiki mobil travel, padahal di film jelas-jelas diperlihatkan mereka ini anak-anak dari keluarga tidak mampu. Kenapa tidak diperlihatkan perjalanan khas orang tidak mampu, yaitu naik kereta ekonomi. Dari sini sebenarnya film ini bisa menayangkan pemandangan yang tidak manusiawi para penumpang  kereta api kelas ekonomi yang tidur beralaskan koran di bawah kursi keras yang terbuat dari kayu, para pedagang yang hilir mudik dan kotoran ayam yang mengucur deras yang berasal dari kardus mie instan di atas bagasi (kalo ini pengalaman saya hahhaha)

Dari wawancara dengan Kyai Rois, Alif mengetahui bahwa para ustadz di PM tidak dibayar. Alangkah baiknya bila di film diperlihatkan bahwa para guru tidak dibayar tapi mereka juga punya usaha untuk bisa hidup normal membiayai dalam mencukupi kebutuhan keluarganya. Hal ini saya rasa lebih realistis.

Keindahan Danau Maninjau dengan 44 kelokannya pun tidak begitu terlihat, padahal film ini juga bisa sekaligus memperkenalkan keindahan alam Sumatera Barat. Misalnya bisa lewat adegan bis jadul yang ditumpangi alif dan bapaknya tiba-tiba mogok di tempat yang strategis, yaitu tempat yang angle-nya bsia menangkap keseluruhan pemandangan indah Danau Maninjau. Kesempatan menunggu itu bisa dipakai untuk  memperlihatkan keelokan alam Maninjau dengan menggunakan mata Alif yang sedang melihat-lihat pemandangan Danau Maninjau yang sangat indah.

Saya tidak tahu apakah film ini sama bagusnya dengan novelnya. Tapi biasanya memang film-film Indonesia yang diadaptasi dari novel selalu tidak lebih bagus atau kurang lebih sama dengan novelnya. Entahlah apakah karena ternyata kata-kata lebih bisa banyak berbicara dan menggambarkan, atau karena teknologi perfilman kita masih terbatas. Namun di atas itu semua, film ini highly recommended ditonton sebagai pelepas stess karena adegan-adegan lucu yang ada di dalamnya juga sebagai bukti kita mendukung film nasional dan juga tentunya karena nilai-nilai yang terkandung dari film ini memang layak kita serap.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun