Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Fakta Psikologis Negara

29 September 2024   00:20 Diperbarui: 29 September 2024   00:47 13 1
Binokular Negara Dalam Perspektif Fakta Jurnalisme, Bagian Ke-3

KEBIJAKAN negara itu, menimbulkan dampak bagi rakyat (publik/warganegara). Secara psikologis apa yang ditimbulkan oleh kebijakan negara bisa dilihat pada respon warga negara. Satu yang paling tepat dijadikan contoh adalah demonstrasi. Negara dan semua elemennya turut merasakan efek psikologis, semua itu tersajikan melalui berita. Dapat dilihat pada kalimat "Presiden menyayangkan timbulnya aksi protes masyarakat." Sebaliknya teks media juga menuliskan "Masyarakat menolak keputusan presiden." Kata "menyayangkan" dan "Menolak" itu gambaran suasana psikologis.

- - - - - - - - - - - -

Saya memutuskan untuk memakai foto Fatmawati Umboh padanya terdapat setidaknya 2 fakta berita, bisa sebagai fakta psikologis, dan juga bisa oleh jurnalis dipakai sebagai fakta opini. Adalah seorang instruktur dalam kegiatan pelatihan, pemilik dari Lembaga Pelatihan Kerja (LPK). Seperti penjelasan sebelumnya dalam pemberitaan saya memasukkan kategori semua kata/kalimat yang menggambarkan ungkapan perasaan dapat masuk kategori fakta psikologis. "rasa marah, gembira, sedih, bersyukur, menolak, menerima" dan diksi-diksi sejenis tidak lain memberi gambaran 'kejiwaan' atau kata lain emosi (suasana hati). Pada catatan Binokular 4, tentang Fakta Opini, kedudukan Ibu Fatmawati, tak salah dikutip pernyataannya sebagai sumber berita pengalaman kaitannya dengan isu ketenagakerjaan, juga menjadi fakta psikologis, menyikapi kebijakan negara.

Untuk memudahkan pemahaman bisa kita dekati fakta psikologis sbb; psikologis pelaku, korban, saksi lihat dengar, lihat, dengar dan saksi antara. Uraian meminjam sudut pandang keilmuan hukum. Dengan asumsi setiap peristiwa selalu melibatkan aktor pelaku, dalam binokular negara, pelaku bisa dimaknai sebagai penyelenggara negara, baik itu Aparat Sipil Negara (ASN), pejabat publik non ASN, aparat keamanan, polisi, hakim, jaksa, tentara, atau pelaksana lembaga-lembaga negara pada semua bidang, dan dengan itu mendapatkan imbalan dari negara sesuai ketentuan Undang-Undang. Adapun korban, adalah individu dan atau kelompok orang, oleh karena kebijakan negara, menerima dampak atau efek negatif atas terjadinya peristiwa.

Dalam kaitan dengan fakta jurnalisme, penggunaan istilah 'korban' dalam konteks binokular negara, dapat bermakna warga negara yang mendapatkan perlakuan diskriminatif, atau tidak adil oleh aparat negara, dan atau kebijakan negara. Mengungkapkan perasaan warga negara, saya dapat berikan contoh pada apa yang dialami Ibu Fatma, melalui upaya menolong ratusan anak-anak putus sekolah, cara dan upaya menolong generasi muda bangsa itu ia mampu menceritakan dengan penuh suka duka. Susah senang, sedih juga gembira. Teropong warga negara yang dimilikinya, bertemu dengan milik pemerintah, sehingga memanfaatkan sejumlah regulasi dan program yang dibiayai pemerintah, dia mampu mengembalikan anak-anak putus sekolah ke ruang belajar, bukan hanya itu, mereka juga bisa dengan baik mengenali sisi kejiwaan anak.

Mari lihat pajak sebagai contoh binokular negara pada rakyat. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dijelaskan; "Wajib pajak yang menolak untuk bayar pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat dikenakan sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana. Sanksi administrasi perpajakan terdiri dari sanksi denda, sanksi bunga dan sanksi kenaikan. Secara kejiwaan sanksi itu menimbulkan rasa tidak nyaman rakyat, namun tak bisa menolak. Pada kasus lain, upaya negara melalui pemerintah melakukan program pemutihan pajak, ini bisa dikategorikan sebagai upaya meredam 'emosi' atau ketidakpuasan rakyat. Jika jurnalis dan media mampu menjadi mediator, maka fakta psikologis bisa dipertemukan secara berimbang dalam berita.

Saya menonton penggalan video pada berita ada seorang ibu menangis sambil berterial-teriak, juga anak-anaknya, mereka mengarang rombongan tim penertiban berisi aparat negara, berseragam dan memakai peralatan lengkap. Kasus "Rempang" itu saya kategorikan sebagai binokular antara rakyat dan pemerintah. Kawasan pulau itu akan diambil pemerintah dan diserahkan kepada investor asing, rakyat sudah mendiami kawasan itu sejak ratusan tahun lampau. Alasan pemerintah mereka penghuni liar dan tak punya dokumen kepemilikan, sebaliknya rakyat Rempang, menilai pemerintah tidak punya hak mengusir mereka, karena sejarah masyarakat hingga kini menyebutkan merekalah pemilik atau pemangku kepentingan atas kawasan itu. Saya tak tahu apakah kekuatan negara bisa efektif memaksa rakyat Rempang keluar dari tanah mereka.

Makassar, September 2024
Zulkarnain Hamson
Penulis Buku "Pers Dalam Lintasan Peradaban"

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun