Ada kelas manusia ternyata. Bahwa kemajuan dunia ini memang sudah dipetak menurut struktur rasnya. Seprtinya kalau bangsa seperti kita hanya bisa menjadi konsumen, tidak mampu merintis dan mengembangkan nilai nilai yang ada dalam hidup kita, bangsa Indonesia, bangsa melayu. Kita hanya mampu lata menikmati hasil orang lain, dan tidak pernah mampu menjadi bangsa pencipta. Tetapi hanya mampu melata sebagai bangsa yang mengagumi ciptaan orang lain, dan hanya mampu berlomba membeli barang barang yang merupakan wujud penggalian orang lain. Tidak hanya itu, sejak dunia ini mementaskan orang orang tertentu didunia sebagai aktor bapak pembangunan dunia, bangsa kita cukup sebagai bangsa yang bersorak sorai hingga detik ini. Sekolah sekolah dan perguruan Tinggi tidak mampu melahir sebuah sistem yang dapat merobah dunia, tetapi selain menjadi bangsa konsumen, bangsa kita adalah bangsa lata, yang hanya bisa mengekor, hingga untuk membangun republik saja terpaksa harus berkiblat pula kepada orang lain.
Tidak ada karya anak anak bangsa yang bisa dibanggakan dunia dan menjadi cermin peradaban dunia. Adanya adalah sebuah bangsa dengan segala kelataannya, atau bisa pula disebut peradabatan bangsa bangsa lata, mulai dari kereta kuda, sepeda, motor, mobir, pesawat, radio, tv, kamera. komputer, serba alat eletronik mulai dari telegrap, telkom hingga internet, kaset, cd dan segala peralatan digital tidak satupun lahir dari kandungan bangsa ini. Artinya, apakah memang bangsa yang ditakdirkan miskin karya, tetapi pandai bicara, pandai mengulas kemampuan orang lain seperti sporter sepak bola yang hanya mampu menyampaikan dukungan, tetapi kalu terjun kelapangan tidak bisa berbuat apa apa. apa begitu ?....
Coba perhatikan produk pendidikan saja adalah produk impor, modal berpikir bangsa ini sebatas mengikuti teori teori yang berkembang didunia lain. Berpa banyak sarjana yang dihasilkan oleh bangsa ini, tetapi karyanya sebagai anak bangsa bukan sebuah karya yang tidak ada sebelumnya, tetapi karya kloning dari fenomena dunia. Untuk sarjana sarjana dalam dialektika persaingan dunia, itu tidaklah mungkin, karena faktor faktor idealisme bangsa ini masih prematur. Tendensius pada citra dan kedudukan. Seorang Sarjana tekhnik misalnya, cukup mengejar penghargaan dan kedudukan, itu tujuan utama. Sarjana pendidikan misalnya, ya cukup menjalankan pendidikan yang ada, apalagi kalau meraih gelar mentri, itu memang tujuannya, sarjana hukum misalnya, pasti sasarannya, menjadi pengacara, jaksa, hakim atau sebatas, bisa mengadili orang. Bukan perancang hukum, buktinya hukum belanda hingga saat ini jadi kitab suci pengadilan dan hukum di Indonesia. Ya inilah uneg unegku, rasanya menjadi plong menyampaikan ini kepada pembaca kompasiana, semoga menjadi motivasi kita sekalin merobah bangsa yang lata ini menjadi bangsa yang dibanggakan dunia karena karyanya....