Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Berjiwa Besar dalam Menulis

18 Desember 2014   05:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:04 37 1
There was a man who was drowing, and a boat came, and the man on the boat said “Do you need help?” and the man said “God will save me”. Then another boat came and he tried to help him, but he said “God will save me”, then he drowned and went to heaven. Then the men told God, “God, why didn’t you save me?” and God said “I sent you two boats, you dummy!”
Demikian kira-kira kutipan yang diucapkan anak Christopher Gardner dalam Persuit of Happiness, film biografi buatan tahun 2006 yang menceritakan kisah hidup seorang salesman yeng menjadi pialang saham kaya. Saya mengambil intisari film tersebut berkenaan dengan masa-masa sulit mahasiswa baru selama menempuh masa pendidikannya. Jika diekstraksi lebih lanjut, film itu sejatinya menyerukan soal prinsip proaktivitas sebagaimana diyakini Stephen Covey sebagai satu dari tujuh kebiasaan manusia efektif dalam bukunya The Seven Habits of Highly Effective People. Sederhananya, dalam situasi kita yang berada di titik nadir pun, diperlukan inisiatif untuk menjemput pertolongan Tuhan. Masa-masa sulit bukanlah untuk diratapi, tetapi dicarikan solusi. Tentu Tuhan tidak hanya sekedar menguji hambanya dalam batas kemampuannya, tetapi juga ingin melihat seberapa besar inisiatifnya.
Lalu, apa hubungannya film tadi dengan situasi dan kondisi mahasiswa baru. Pertama, pemahaman bahwa masa sulit adalah salah satu episode kehidupan. Kedua, mengarahkan energi positif yang cenderung mencari solusi dibanding energi negatif yang selalu ketagihan berkubang pada keluh kesah. Ketiga, resep atau janji yang relevan, yakni bahwa awal yang penuh penderitaan akan menghasilkan akhir penuh kemuliaan.
Masa sulit itu terindikasi dalam catatan-catatan khusus mahasiswa baru yang ditujukan untuk saya (sebagai asisten) setelah mengikuti ujian pasif praktikum. Dengan penuh kenaifan mereka mendeskripsikan keadaan mereka saat ini dalam bahasa literasi. Mereka berusaha menambahkan unsur sastra dalam cerita mereka, tapi tak ubahnya yang mereka buat hanyalah catatan harian, penuh dengan bahasa nasib yang diterjemahkan dalam frase-frase kosong dan hanya memboros spasi.
Memang, menulis adalah sebuah kemuliaan. Merekam serangkaian interpretasi otak, karsa, dan rasa terhadap fluktuasi lingkungan. Namun, menulis juga adalah tanggung jawab jariyah. Sekali ia terpahat, maka pertanggungjawabannya sepanjang masa tulisan itu ada. Gie menyampaikan catatan hariannya saat itu (masa hidupnya, red) karena ia tahu anak zaman di era ini tidak akan tahu arti belajar merontak, pergulakan hati, dan emosinya jika ia hanya menitipkan salinan catatan harian yang penuh bumbu kecengengan. Dengan kata lain, membukukan satu fase kehidupan dalam literasi bukanlah untuk sekedar menarik simpati, tetapi untuk menjadi membawa pesan kehidupan yang akan disampaikan pada yang membacanya.
Jokowi dalam tulisannya di Kompas mengungkapkan bangsa ini memerlukan tindakan korektif dengan mencanangkan revolusi mental. Singkatnya, konstektualisasi konsep revolusi mental perlu dimaknai sebagai suatu keharusan dan kebutuhan mendesak oleh segenap lini bangsa. Salah satu perubahan yang penting adalah menjadi bangsa yang berjiwa besar.
Jika menulis adalah manuskrip sebuah drama, maka penulisnya mesti menitipkan pesan yang menghidupkan. Menghidupkan setiap abjad yang membawanya sampai suasana orang yang membacanya.
Saat ini adalah masa-masa sulit. Namun, itu tidak untuk diratapi, tetapi dicarikan solusi. Dengan energi positif, semua elemen masyarakat harus bekerja keras. Yakinlah, awal yang penuh penderitaan akan menghasilkan akhir penuh kemuliaan. Fainna ma’al usri yusra!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun