Awal hubungan mereka bermula sejak 2022, saat itu tersangka DH menjadi guru pembimbing karya ilmiah korban. Modus asmara digunakan DH untuk menggoda korban hingga korban terpedaya dan bersedia melayani nafsu bejat tersangka. Saking rapatnya mereka menutup hubungannya ini, dua kali penelusuran Kepala Sekolah bisa mereka lalui tanpa ketahuan bahwa mereka sedang menjalin hubungan. Hingga teman korban melakukan perekaman diam-diam dan dari situlah video pun beredar di sosial media (BBCnews, 27/09)
Kemenag pasti terpukul atas kejadian ini. Lantaran kampanye cegah pernikahan anak baru sepekan berlalu dilakukan dengan menghadirkan pelajar tingkat atas. Kampanye cegah pernikahan anak tersebut bertujuan untuk mengedukasi peserta agar mengetahui bahaya pernikahan di usia sekolah. Pernikahan anak dianggap berpotensi mengganggu psikologi dan kesehatan reproduksi anak serta menjadi penyebab putusnya pendidikan anak. (Kemenag.go.id, 19/09)
Namun dalam kondisi DH dan P ini, apakah kampanye cegah pernikahan anak ini tetap relevan?
Hamil Di Luar Nikah Dominasi Permintaan Dispensasi Nikah
Pernikahan anak diartikan sebagai pernikahan yang terjadi di bawah standar usia yang ditetapkan. Sebagaimana diketahui UU Perkawinan menetapkan usia 18 tahun sebagai batas minimal agar seorang bisa menikah. Dan untuk anak di bawah standard tersebut diberikan izin legal menikah melalui pengajuan dispensasi nikah. Pengajuan dispensasi nikah ini bukan tanpa sebab, adanya budaya, latar  belakang pendidikan rendah dan kondisi ekonomi telah diketahui sebagai alasan para orang tua menikahkan anak mereka. Namun hal lain yang juga mendominasi adalah adanya kehamilan di luar nikah pada anak atau telah melakukan hubungan sehingga memaksa mereka untuk dinikahkan.
Seperti pada empat provinsi yang mencetak angka tertinggi dispensasi nikah di tahun 2023 yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Tingginya angka dispensasi ini menjadi sorotan lantaran BKKBN melaporkan 80% diantaranya disebabkan oleh hamil di luar nikah (sindonews, 23/01/2023). Untuk itulah berdasarkan pada fakta ini, peneliti pemikiran Islam Dr.Rahmah menghimbau agar perhatian terhadap tingginya angka pernikah anak mestinya dilihat kepada akar masalahnya sehingga solusinya pun tepat pada sasaran.
Lebih lanjut ia menerangkan bahwa terdapat tiga akar masalah utama, "Pertama, tidak adanya kesiapan berumah tangga. Kedua, mudahnya konten pornografi dan pornoaksi diakses oleh anak di internet sehingga nafsu seks anak menjadi tidak terkendali. Ketiga, tidak adanya aturan pergaulan yang mengharamkan mendekati zina dan sanksi bagi yang melanggarnya  (muslimahnews.net, 14/08/2023)
Solusi Liberal
Penelusuran mendalam ini menerangkan bahwa sesungguhnya kampanye pencegahan nikah anak tidak menyentuh akar permasalahan. Lebih jauh diketahui bahwa program ini merupakan program global yang dikawal oleh negara-negara liberal melalui Program Kependudukan PBB menggandeng UNICEF dan UNFPA (newsdetik.com, 08/03/2016). Salah satunya adalah pengawalan UU usia minimum pernikahan di usia 18 tahun yang disetujui oleh lima negara yakni Kanada, Uni Eropa, Italia, Belanda dan Inggris.
Program ini setali tiga uang dengan program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) yang dirancang akan menyediakan alat kontrasepsi bagi pelajar dan remaja. Karena itulah rangkaian program ini adalah proyek global untuk liberalisasi pada remaja di negeri-negeri muslim termasuk Indonesia.
Sebagai negeri muslim terbesar di dunia, Indonesia harus mampu membuat petanya sendiri dalam menciptakan generasi emas yang berprestasi dan mulia. Mulai dari perubahan total kurikulum sekolah dan pendidikan keluarga yang menyiapkan peserta didik untuk mampu menanggung beban (taklif hukum) saat usia anak sudah baligh. Maka pembahasan pernikahan dalam aspek peran dan tanggung jawab sebagai istri atau suami dilakukan dalam tiap jenjang pendidikan. Dengan sendirinya, anak bisa mengukur sendiri kesiapannya untuk menikah.
Tata pergaulan laki-laki dan perempuan memberikan batasan yang jelas bahwa interaksi keduanya tidak terjalin kecuali yang diperbolehkan oleh Islam. Seperti kebolehan interaksi dalam aspek pendidikan, kesehatan, jual beli dan penyelesaian soalan hukum. Di luar itu maka interaksi keduanya terputus dengan kata lain tidak ada pacaran atau pergaulan bebas. Kewajiban menutup aurat dan menundukkan pandangan (ghadul bashar) juga dipahamkan kepada peserta didik sembari negara menutup akses pornografi dan pornoaksi serta menerapkan sanksi bagi mereka yang melanggar aturan ini. Seperti adanya hukuman bagi pemuda yang tidak menutup aurat, hukuman bagi pemuda yang berkhalwat bahkan hukuman bagi pelaku zina.
Koq Lebih Mudah Zina daripada Nikah?
Meskipun Khazanah Islam terkait permasalahan ini dalam tataran normatif, preventif dan akuratif sudah sedemikian lengkap. Namun karena aqidah Islam tidak menjadi dasar dalam menata kehidupan maka aturan-aturan tersebut berujung pada sekedar teori semata, Islam tidak mewujud dalam peraturan kehidupan masyarakat. Karena itu pula kondisi saat ini dirasakan lebih mudah melakukan zina daripada nikah. Padahal Islam lebih menyuburkan pernikahan dan menutup pintu perzinaan. Karenanya dalam kehidupan yang Kaffah diatur oleh Islam, kasus zina DH dan P beserta  kasus zina lainnya tidak akan terjadi. DH yang tertarik kepada P bisa langsung melamar lantaran keduanya sudah baligh dan kebolehan berpoligami.
Kini DH sudah dalam jeruji besi. Sementara P sudah putus sekolah dan dalam Dinas perlindungan  Perempuan dan anak Gorontalo. Namun apakah sanksi ini akan membuat jera pelaku dan mencegah kasus serupa bermunculan? Jika tidak dengan Islam, dipastikan lebih mudah zina daripada nikah. Wallahu 'alam.
Oleh Zulfa Syamsul, ST (Komunitas Muslimah Siatutui Soppeng)