Senja yang sendu di sebuah café di bilangan Hay Sadis. Meja putih bundar tertata rapih dengan empat kursi mengelilingnya. Sebagian meja terisi, sebagian kosong. Di pojok café ada seorang lelaki sendirian dengan sebuah laptop putih bersimbol buah apel sudah dimakan sebagian. Dia asyik dengan laptopnya tanpa mempedulikan hiruk-pikuk café. Sementara itu tak jauh dari lelaki itu ada sekelompok lelaki-perempuan dengan umur yang berbeda-beda yang nampak dari bentuk wajahnya. Sepertinya mereka adalah keluarga besar dan sedang membicarakan permasalahan besar. Sebagian meja lagi terisi oleh muda-mudi yang asyik berpacaran, sepertinya, jika mereka bukan kakak-adik. Sisanya kosong kecuali yang di sudut paling barat di bawah sebuah pohon. Ada aku dan Fiya di situ.
Kami masih sama-sama tenggelam dalam tatapan masing-masing. Aku menatapnya dan dia menatapku. Diam kami seribu makna, tapi yang jelas sedang mempersiapkan pembicaraan serius. Aku menarik nafas panjang untuk selanjutnya menyalakan sebatang rokok yang sedari tadi sudah terselip di antara jari telunjuk dan jari tengah. Di bilangan Hay Sadis yang tak seramai Hay Ashir, aku dan Fiya memang sering menyempatkan duduk di café bernama Ce Umar hanya untuk ngobrol santai sambil menikmati es lemon. Tapi itu jika musim panas. Jika musim dingin Syahlab jadi alternatifnya.
Setelah rokok menyala ujungnya barulah Fiya membuka suara. “Kapan kau akan benar-benar berhenti merokok?”
“Nanti saat kau sudah mendarat ke bumi, dan mau berada di sampingku, merawat kebun dan bertani.” Jawabku singkat.
“Memangnya aku terbang ke mana?”
“Ke dunia yang entah. Entah aku yang tak tahu atau kau yang tak pernah memberitahu.”
Kami melanjutkan diam. Di sisi hatiku ada rindu sebenarnya. Tapi aku tak mau dia tahu. Suasana senja di awal musim dingin ini jadi semakin biru. Romantika suhu yang memaksa siapa saja berselimut. Menutup diri dari kenyataan dan merenungi nasib yang mengukung realita. Aku sendiri dikangkangi takdir. Enam tahun yang membosankan. Masih saja belum bisa menyelesaikan strata satu. Padahal konon katanya strata satu sudah tak lagi bermakna seperti dulu. Sarjana S1 masih banyak yang menganggur dan tidak diperhitungkan. Tapi apakah nilai kemanusiaan juga masih diperhitungkan melalui strata pendidikan? Ah konyol sekali rasanya.
Dia masih saja berada dalam garis tatap matanya yang menyorot ke mataku. Aku sadar aku tidak pernah bisa seberani ini kepada perempuan lain. Aku merasa dia adalah bumiku, bumi yang memenuhi semua syarat kehidupan bagiku. Sangat kompleks dan rumit. Bahkan aku yang meledak bersama Big Bang 15 milyar tahun silam benar-benar kehilangan semua dimensi waktu di dalam tatapan matanya. Di bola mata yang bening itu waktu membeku. Berhenti dan merenung. Melupakan spasial.
“Sungguh aku tak tahu harus menuliskan apa di lanjutan tesis magisterku ini. Aku terjebak pada pertanyaan diriku sendiri yang tidak bisa aku jawab. Aku kini bersandar pada keraguan pikiranku sendiri. Ide-ide besar yang konyol. Aku bahkan tak bisa meraba pikiranku sendiri.”
“Apa kita perlu bersenggama untuk mencari jawaban itu?”
“Konyol pikiranmu!!! Kapan kau bisa berhenti menyoal seks dalam hidupmu?”
“Setelah aku bisa terbang seperti dirimu, menjadi malaikat yang tak punya nafsu.”
Fiya memang sedang dalam kebingungan yang amat sangat. Tesisnya mengangkat ide yang sangat bagus. ‘Asy’ariyah Memandang Eksistensi Surga-Neraka dan Komparasinya dengan Kosmofisika’. Brilian tapi membuatnya tak berkutik.
Aku merasa dia terjebak dalam ketidaktahuan kosmofisika. Dunia yang fana ini juga sudah membuat bingung banyak ilmuwan, teolog, dan filosof. Semua jadi gentar saat dihadapkan pada kenyataan bahwa dunia ini punya akhir. Padahal bukankah batas akhir dan mula itu seperti selembar tisu yang kau pakai untuk menghapus bekas mayonaise di pipimu yang halus itu, sayang?
Kali ini Fiya merunduk. Kurasakan ada putus asa di wajahnya. Sementara matahari musim dingin yang semakin loyo menyangga hari yang semakin lelah, senja kuning pun ditingkahi burung-burung merpati yang sedang berpesta di udara. Kucoba mengambil dagunya yang menggantung bagaikan embun di ujung daun saat pagi masih ranum. Wajahnya naik, kutatap lagi matanya.
“Apa yang kau takutkan?”
“Kekalahan dan kehilangan.”
“Aku masih di sini di menang dan kalahmu. Aku sendiri tak pernah peduli pada kemenangan dan kekalahan.”
Pada yang kelabu di senja yang biru menyisakan tanyamu soal bagaimana eksistensi surga dan neraka di hadapan ilmu fisika yang sangat matematis. Kenapa mesti dihitung? Kenapa melupakan sisi kehambaan pada Tuhan yang berpasrah? Kau sangat perfeksionis, Fiya. Kadang aku merindukan sakitmu, karena kau yang selalu saja kuat dan menang di hadapan kehidupan. Kau juga selalu mengalahkan aku.
Kami pulang menuju hidup kami masing-masing. Aku merasakan Fiya juga membawa sedih di kepulangannya. Memang sesekali dia harus sedih. Jadi yang manusia yang bisa menangis. Jadi manusia yang bisa sakit. Jadi manusia yang tak musti yakin pada janji surga dan ancaman neraka, agar ikhlas bisa dicapai. Agar Tuhan bisa jadi cinta yang sebenarnya.
Sejujurnya aku merasa hina saat dia melanjutkan S2nya sementara aku yang masih betah di tahun ketiga Akidah Filsafat. Aku yang gagal tapi tak merasa gagal. Aku hanya tidak bisa memaksa diriku untuk sukses. Aku yang gagal dan sukses tak ada bedanya. Aku lebih menyukai kebebasan. Membaca apa saja dari apa saja. “Tapi kau juga harus memikirkan usia.” Itu sahutan yang selalu saja dilemparkan Fiya kepadaku saat aku berapologi akan kegagalanku. “Kau juga harus memikirkan kapan waktunya menikah. Atau kau hanya butuh cinta tanpa pernikahan?” Jawabku. Ah lagi-lagi kau berdalih ‘masih kecil’. Sudahlah sayang, kita sudah besar, persenggamaan kita dengan kehidupan sudah perlu diakhiri dan menjadi manusia yang adil terhadap alat kelaminnya sendiri.
Tapi aku juga tak bisa melihatnya gagal menggapai apa yang dia cita-citakan. Di Mesir ini dia sudah memasrahkan segala cita-citanya di bidang filsafat. Aku juga tak bisa diam tak membantunya meski kadang aku jadi hina karea berbeda kasta pendidikan. Apakah aku juga harus mencarikan jawaban atas pertannyaannya yang bisa membuat seorang profesor gila? Ya bahkan jika aku juga harus gila, kalau memang aku bisa gila. Karena aku tak yakin bahwa orang gila bisa gila.
Sebenarnya tak sulit jika harus merumuskan eksistensi surga dan neraka di hadapan ilmu pengetahuan bahkan jika harus dirumuskan dalam angka-angka rumit yang tentu bikin botak. Aku bisa memberi jawaban Fiya, meski kau sendiri yang cerdas itu tak pernah bisa memberi jawaban pasti kapan aku bisa memilikimu.
#
Pagi yang berkabut di musim dingin yang makin kalut. Di sebuah taman yang begitu congkak memamerkan hijaunya pada gurun kering Sahara. Dan kau masih menyandarkan jiwamu di langkahku yang tersendat. Langkah-langkah yang gontai di sebuah perjalanan yang terkejut. Di bawah lelagu musim yang aneh di lembar daun telinga kita. Kepalan tanganmu tanda dingin. “Sudah aku bilang lajang itu menyebabkan kedinginan,” ledekku. Fiya hanya bersungut-sungut gemas tanpa bisa menyentuhku.
Aku ini memang makhluk yang tak bisa disentuh siapapun, sayang. Aku ini adalah kebimbangan para manusia, kadang jadi kebencian dan jatuh cinta sejadi-jadinya.
“Kau ingin menggambarkan bagaimana surga dan neraka itu ada?”
Fiya pun langsung berhenti dan menatapku. Dia seperti dalam rangsangan seksual tingkat tinggi. Bahkan dia juga jadi seperti perampok yang sedang bernafsu menghabisi korbannya. Dia benar-benar menyudutkan aku di sebuah kursi di gelap dunia. Hanya ada satu cahaya menyorot mukaku.
“Sayangku, ibaratkan hubungan kita dengan Tuhan adalah hubunganku denganmu. Aku tuhan dan kamu manusia. Jika kamu mencintaiku, menyayangiku, dan memberikan hidupmu padaku, maka aku pun akan membahagiakanmu, aku akan turuti permitaanmu, dan akan selalu ada di dekatmu. Lebih dari itu, aku belikan kamu rumah, aku belikan kamu mobil, dan aku belikan kamu perhiasan. Kamu bahagia kan sayang jika aku begitu?”
“Sangat.” Jawabmu tergesa.
“Bukankah surga adalah kebahagiaan?”
“Ya.”
“Jadi yang mana kebahagiaan? Apakah mobil yang aku belikan? Atau rumah? Atau perhiasan?”
“Bukan, bukan itu. Kebahagiaan adalah saat kau ada di dekatku, kau setia padaku, saat kau menempatkan aku di tempat spesial di hatimu yang dengan itu semua kau memberikan apa yang aku minta.”
“Ya benar. Itulah surga.”
“Lantas neraka?”
“Kapan aku bisa menikahimu?”
“Mungkin setelah aku selesai S2.”
“Itulah neraka.”
Kairo, 26 November 2011.
Untuk surgaku yang menjauhkan aku dari nerakaku...