Sebagai mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies memang memiliki basis massa yang cukup kuat di Jakarta, terutama di kalangan pemilih yang pernah mendukungnya pada Pilkada 2017. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa citra Anies di Jakarta telah lama dikaitkan dengan narasi politik identitas yang berbasis agama. Peristiwa Pilkada DKI 2017 meninggalkan kesan mendalam tentang bagaimana identitas agama digunakan untuk membangun dukungan elektoral. Bagi sebagian besar warga Jakarta yang pluralis, narasi semacam ini menjadi isu sensitif yang terus memengaruhi persepsi terhadap Anies hingga saat ini.
Maruarar Sirait, politikus senior dari Partai Gerindra, menyebutkan bahwa dukungan Anies kepada Pramono-Rano justru berpotensi mengurangi suara pasangan ini. Dalam konteks pemilih DKI Jakarta, terutama basis nonmuslim dan mereka yang mendukung PDIP, nama Anies masih menjadi simbol kontroversial. Bagi pemilih yang mendukung PDIP, ideologi partai yang menjunjung tinggi nilai-nilai nasionalisme dan keberagaman jelas bertolak belakang dengan citra politik Anies. Karena itu, dukungan Anies kepada Pramono-Rano dapat dilihat sebagai kontradiksi yang mengganggu keselarasan ideologis pasangan ini dengan pemilih PDIP.
Selain itu, pantauan langsung di lapangan menunjukkan adanya potensi pergeseran preferensi pemilih. Basis pemilih nonmuslim, yang semula mendukung pasangan Pramono-Rano, tampaknya mulai beralih ke pasangan Ridwan Kamil-Suswono. Hal ini dapat dimaklumi karena Ridwan Kamil memiliki citra yang lebih moderat dan inklusif, didukung oleh tokoh-tokoh besar seperti Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo. Kombinasi dukungan dari Prabowo dan Jokowi menjadi kekuatan politik yang besar, sehingga pasangan Ridwan-Suswono dapat memanfaatkan sentimen anti-Anies di kalangan pemilih Jakarta.
Tak hanya itu, bagi pemilih yang mendukung PDIP, fakta bahwa Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tidak pernah memberikan ruang kepada Anies menjadi alasan kuat untuk menolak dukungan ini. PDIP, sebagai partai dengan basis massa besar, tidak pernah menjadikan Anies bagian dari strategi politiknya. Megawati sendiri dikenal sebagai sosok yang mengedepankan ideologi kebangsaan dan keberagaman, yang secara terang-terangan berbeda dengan citra politik Anies.
Secara keseluruhan, langkah Anies mendukung Pramono-Rano dapat disebut sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, Anies berusaha memobilisasi dukungan dari pendukungnya sendiri untuk pasangan ini. Namun, di sisi lain, dukungan tersebut dapat mengalienasi segmen pemilih yang lebih moderat, pluralis, dan mereka yang menginginkan pemimpin Jakarta yang inklusif. Jika tidak dikelola dengan baik, langkah ini berisiko menjadi beban besar yang melemahkan elektabilitas Pramono-Rano.
Dalam dinamika politik DKI Jakarta yang kompleks, strategi mendekatkan pasangan calon dengan tokoh besar seperti Anies harus dipikirkan dengan cermat. Dukungan tokoh besar memang bisa menjadi aset, tetapi jika tokoh tersebut memiliki citra kontroversial seperti Anies, dampaknya justru bisa kontraproduktif. Pilgub DKI Jakarta 2024 akan menjadi ujian bagi pasangan Pramono-Rano untuk meramu strategi yang dapat menjembatani perbedaan ideologis sekaligus menarik dukungan dari berbagai segmen pemilih, tanpa terbebani oleh stigma yang melekat pada tokoh-tokoh tertentu.