Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Mbok Mar Penjual Daun Pisang

15 Desember 2024   08:01 Diperbarui: 15 Desember 2024   09:02 69 1
Tahun ini, Mbok Mar memasuki usia tujuh puluh tahun. Bagi sebagian orang, umur kepala tujuh seharusnya menjadi masa menikmati hidup, bermain-main saja dengan cucu-cucu. Tapi Mbok Mar berbeda. Baginya, waktu adalah amanah, harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, baik untuk dirinya maupun orang lain.

Sore ini, saat anak-anak dan cucu-cucunya sudah beristirahat dari pekerjaan, Mbok Mar justru baru memulai aktivitasnya. Ia mengambil keranjang besar, melangkah ke kebun kecil di belakang rumah, memetik daun singkong, daun pepaya, serta daun pisang. Ketiga daun itu sudah menjadi langganan bakul sayur di pasar pagi.

Biasanya, Mbok Mar berjalan kaki ke pasar, mengemban barang bawaannya dengan jarik lusuh yang sudah bertahun-tahun menemaninya. Sekali kirim, ia mendapat uang dua puluh ribu. Kalau hari itu panennya banyak, ia bisa membawa pulang lima puluh ribu. Tapi itu berarti ia harus dua kali bolak-balik antara rumah dan pasar yang jaraknya dua kilometer. Jika anaknya sedang di rumah, barang-barangnya bisa diangkut dengan motor.

Jarak rumah dan pasar tidak jauh menurut Mbok Mar. Dua kilometer terasa seperti selemparan batu bagi tubuh tuanya yang sudah terlatih. Biasanya, ia keluar rumah setelah jam tiga dini hari. Tapi pernah suatu kali, tanpa sadar ia terbangun lebih awal, jam satu malam. Tidak melihat jam, ia bergegas keluar, mengemban barang dagangan, berjalan menuju pasar. Saat tiba, pasar masih sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bakul yang biasa ia temui pun belum datang. Ia sadar hari masih terlalu dini. Mbok Mar pun memutuskan tidur di masjid dekat pasar.

Banyak orang memandang Mbok Mar sebagai sosok pekerja keras yang harus bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tapi sebenarnya, anak-anaknya tidak pernah membiarkan Mbok Mar kekurangan. Uang bulanan selalu dikirim. Menantunya juga rutin membelikan kebutuhan dapur. Namun, Mbok Mar tidak mau hanya bergantung pada pemberian. Baginya, selama tubuhnya masih mampu bergerak, selama daun-daun di kebunnya masih bisa dipetik, ia merasa wajib memanfaatkan semua itu.

"Daun yang diberikan Gusti Allah jangan sampai dibiarkan membusuk di tanah. Setiap lembar daun itu ada manfaatnya, ada rezekinya," begitu ia sering berkata kepada tetangga yang melihatnya mengangkut dagangan.

Guyuran hujan sore ini tidak menjadi halangan bagi Mbok Mar. Dengan tenang, ia menyusuri kebun kecilnya, memetik daun-daun segar yang akan dijual esok pagi. Ia tahu, pasar sekarang tidak lagi seramai dulu. Semakin hari, pembeli lebih memilih memesan kebutuhan melalui aplikasi di ponsel. Para bakul di pasar semakin sedikit. Banyak yang menyerah, beralih pekerjaan, atau memilih tinggal di rumah.

"Pasar itu dulu kayak lebaran setiap hari," ujar Mbok Mar kepada tetangganya, Bu Narti, saat bertemu di jalan. "Bakul-bakul muda, anak-anaknya bakul dulu, ikut jualan. Sekarang? Pasar makin sepi. Anak-anak mereka pada sekolah tinggi, nggak ada yang mau jadi bakul."

Bu Narti mengangguk, lalu bertanya, "Lalu kenapa Mbok Mar tetap jualan? Anak-anak sampean kan sudah cukup mapan."

Mbok Mar tersenyum kecil. "Bukan soal butuh duit, Narti. Ini soal syukur. Kalau aku berhenti, daun-daun ini mau jadi apa? Mereka yang kerja keras tumbuh di tanah. Kalau nggak dimanfaatkan, aku ini yang dosa. Gusti Allah ngasih rezeki lewat kebun kecilku, masa aku buang?"

Percakapan itu terus terngiang di kepala Bu Narti. Mbok Mar bukan hanya sosok yang penuh semangat, tapi juga penuh rasa syukur. Ia tidak pernah menyerah, bahkan di tengah zaman yang berubah. Meski pasar sepi, meski teknologi terus maju, Mbok Mar tetap berpegang pada keyakinannya: bahwa hidup harus bermanfaat.

Saat malam tiba, setelah menyelesaikan pekerjaannya, Mbok Mar duduk di beranda rumah. Hujan masih turun, menyisakan aroma tanah basah. Ia menatap gelap, memikirkan cucu-cucunya yang kini jarang bermain di halaman. Semua sibuk dengan gawai masing-masing. Dunia mereka berbeda dengan dunia Mbok Mar dulu.

Mbok Mar menarik napas panjang, lalu berbisik, seolah berbicara pada dirinya sendiri, "Zaman boleh berubah. Tapi syukur nggak boleh hilang. Daun ini kecil, tapi besar artinya kalau dimanfaatkan. Hidup itu ya seperti daun, kalau cuma dibiarkan jatuh ke tanah, hilang sia-sia."

Malam itu, dalam heningnya, Mbok Mar merasa puas. Meski dunia terus berubah, ia percaya nilai-nilai yang ia pegang teguh akan selalu memiliki tempat, setidaknya di hati orang-orang yang melihatnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun