Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Melipat Rindu Menumbuhkan Sepi

18 Oktober 2024   23:39 Diperbarui: 19 Oktober 2024   01:17 103 2
Senin telah menampakkan sibuknya, ayam yang bertugas sebagai alarm alam sudah kembali diam. Sementara matahari pagi ini sinarnya terhalang oleh awan mendung. Jalanan kampungku sudah lengang seperti menegaskan bahwa ini bukan kampung pengangguran yang setiap waktu ada saja kumpulan ngerumpi.

Aku kesiangan pagi ini, rencana ini itu telah menanti untuk diselesaikan dengan waktu yang sesingkat - singkatnya. Kalau perlu rencana hari selasa rabu dan kamis selesai hari senin. Dan itu hanya lamunanku ditengah kamar, aku tahu pekerjaan akan selalu datang bebarengn dengan hari yang bergantian.

Ah sialnya hari ini aku kelupaan kalau ada janji untuk menemuimu dikota yang kau sebut kota kita. Aku lihat layar ponselku ada panggilan tidak terjawab tiga kali darimu. Kau pasti ingat aku pernah berkata:  jika tiga kali tidak terangkat pasti aku sedang tidur atau dijalan. Sayangnya kali ini kau mengira aku sudah dalam perjalanan menujumu.

Kau menungguku berjam - jam, jarak yang aku tempuh bisa dua jam perjalanan, dan kau menungguku sejak telponmu tidak aku angkat. Lamunanku tentang pekerjaan menambah lama aku beranjak dari kasur, aku tahu kau akan menunggu dengan sabar, meski kau tak sabar ingin segera melepas rindu untuk mendapatkan berlipat - lipat rindu.

Aku datang dengan muka yang tegang, mengaku salah dan meminta maaf terlebih dulu adalah jalan satu - satunya mencairkan suasana. Kau nampak dingin, aku yakin karena keterlambatanku.

"Kau tak perlu meminta maaf, sejak tahu kau tidak mengangkat telponku, aku sudah lebih dulu memaafkanmu"

Begitu kau berkata setelah dengan serius aku meminta maaf. Namun bibirmu tetap nampak dikuncir kuda, tanpa senyum sedikitpun.

Aku mulai mencari cara agar kedinginan ini segera hangat. Segala kesukaanmu sudah aku buka, semua inginmu telah aku bawa. Kita masih saja pura - pura mendengar awan yang bergerak, menakar air yang telah kita tenggak.

Hari semakin sore, aku menunggumu memarahiku, hanya itu barangkali yang bisa melepas kesalmu.

Kau tidak berucap apa - apa cubitan keras yang kau berikan telah membuatmu sedikit lega.

"Aku sampe kering menunggumu, mas"

"Nggih nduk, ngapunten aku lupa hari ini harimu hari kita"

"Gak mau, ajak aku jalan - jalan kemanapun, sampai aku mau memaafkanmu"

Meski hujan deras, aku mengabulkan permintaanmu agar kau benar - benar mengabulkan permohonanku.

Kita berputar - putar dengan sepeda motor, aku mencari sudut kota yang tenang, seperti yang sering kau ceritakan kau penyuka ketenangan.

Kopi hangat telah aku pesan, aku harap bisa menghangatkan perasaanmu.

"Kita harus berpisah" katamu sambil menetaskan air hujan yang turun dari matamu

"Kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini" tegasmu

Aku masih terkaget, belum ada kata yang keluar dariku. Mendadak kepalaku sakit sebelah

"Sudah lama aku menunggu hari ini mas, aku ingin mengucapkannya langsung, bukankah ini seperti yang kau bilang pertama kali setelah kita sepakat saling mencintai?

Aku masih tidak bisa berkata, aku lupa kalimat apa yang pernah aku katakan dua tahun yang lalu.

"Mas kamu dulu bilang setelah kita jadian jika nanti kita menemui masalah atau bahkan perpisahan, maka itu harus bermula dari pertemuan"

Ternyata pesan - pesanku masih disimpan rapi, menjadi sebuah pisau tajam yang menghujam tepat di dadaku. Dulu aku sempat bercerita bahwa aku paling tidak suka menahan bara dengan hanya memadamkanya lewat kata di chat, segala masalah harus kita bicarakan langsung bukan seperti orang njaman sekarang yang bersembunyi di balik layar ponselnya.

Sambil mengusap air mata kau melanjutkan kalimatmu

"Aku menunggu waktu ini, mas. Aku capek mas, aku capek dengan ketidakpastian kita, sementara orang tuaku sudah menagih untuk segera menikah. Aku selalu bilang mas, lamarlah aku sesegera mungkin, tapi kamu takut dengan bayanganmu sendiri mas. Aku capek, kita harus selesai hari ini"


Kata - katamu menggantung di udara, kali ini badanku benar - benar kedinginan, jawabanku yang semestinya keluar sudah hilang dibawa air hujan dan kesedihan. Selama ini aku memang takut dengan pikiranku sendiri, seperti laki - laki lain yang selalu memperhitungkan segalanya, apalagi dimata orang tuamu, aku harus sempurna. Memang benar katamu aku takut pada bayanganku sendiri.

Kau pergi begitu saja, meninggalkan luka, melipat rindu yang seharusnya dibuka.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun