Berbicara mengenai upaya meredam potensi hoaks dan membatasi konten yang memecah belah persatuan adalah langkah yang terdengar bijak. Namun, dalam perjalanan memahami rancangan perpres ini, kita tidak boleh mengabaikan risiko kontroversial yang dapat muncul. Salah satunya adalah potensi menghambat kreativitas dan inovasi di kalangan kreator konten.
Perlu diakui bahwa pembatasan ini adalah upaya untuk menjaga integritas informasi, tetapi juga harus diimbangi dengan hak atas kebebasan berpendapat. Regulasi yang terlalu ketat berpotensi membatasi keragaman opini dan perspektif, yang pada gilirannya dapat meredam perkembangan kebebasan berekspresi yang telah diupayakan selama ini.
Saat kita merenungkan tentang perlindungan data dan algoritma platform digital, hal ini semakin mengingatkan kita pada kompleksitas dunia teknologi informasi. Algoritma yang memutuskan penyebaran konten menimbulkan pertanyaan: siapa yang mengawasi algoritma? Apakah keputusan ini mungkin rentan terhadap bias atau manipulasi?
Namun, kritik tidak hanya datang dari dalam negeri. Google, sebagai pemain utama dalam dunia teknologi, menyoroti potensi dampak negatif pada kebebasan akses informasi. Mereka berpendapat bahwa memberi lembaga non-pemerintah kekuasaan untuk mengatur konten daring dapat membatasi keragaman sumber berita dan mengekang akses informasi bagi masyarakat.
Penting untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari regulasi ini. Mungkin saja peraturan ini bertujuan baik dalam meredam hoaks dan ujaran kebencian, terutama menjelang Pemilu. Namun, dampak terhadap ekosistem informasi dan kebebasan berpendapat harus tetap menjadi perhatian utama. Kita harus menghindari jatuh ke dalam jeratan keputusan yang dapat membatasi kreativitas, mengabaikan inovasi, dan mereduksi pluralitas opini.