Kegiatan kampanye diatur di dalam PKPU Nomor 13 Tahun 2024. Aturan tersebut tidak hanya soal materi apa saja yang mesti disampaikan, namun juga ada sejumlah larangan yang tidak boleh dilanggar oleh pasangan calon, partai politik pengusul maupun oleh tim pemenangan. Aturan tersebut adalah upaya agar pasangan calon tertib, terarah dalam melakukan kempanye. Sehingga pesan dalam menyampaikan kampanye fokus terhadap isu-isu populis yang dimandatkan undang-undang Pilkada. Subtansi isu dalam aktivitas pendidikan politik (kampanye) merupakan langkah strategis dalam dalam membangun kesadaran dalam masyarakat demokrasi.
Namum pendidikan politik yang baik tatkala masyarakat memiliki kecukupan informasi untuk memberikan penilaian terhadap calon yang hendak dipilih. Kehadiran penyelenggara Pilkada (KPU), sebagai pelaksana atas mandat demokrasi, berupaya menjawab tantangan tersebut melalui sejumlah metode kampanye (Baca : PKPU 13 tahun 2024 Tentang Kampanye). Adapun metode yang digunakan dalam menyampaikan dan menyerap informasi, diantaranya; Pertemuan terbatas, Pertemuan tatap muka dan dialog, Debat publik atau debat terbuka antar-pasangan calon, Penyebaran bahan kampanye kepada umum, Pemasangan alat peraga, Iklan media massa cetak dan media massa elektronik dan Kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan. Â
Kampanye di Era Digital
Digitalisasi, telah mengubah lanskap informasi. Bahkan tidak hanya menyajikan bagaimana tata kelola pelaksanaan pilkada berbasis teknologi. Hal itu juga memberikan kemudahan akses informasi untuk masyarakat mencari jejak rekam pasangan calon. Potret historis, pengalaman, pendidikan, pengabdian, karya serta modalitas sosial bisa menjadi rujukan dan mungkin saja bisa membantu. Namun demikian, selain digitalisasi tersebut menjadi ruang pendidikan politik, juga bisa menyesatkan (pembodohan). Â
Penyesatan informasi bisa dengan mudah berselancar melalui Platform media informasi berbasis digital seperti website, Instagram, Twitter (X) Facebook, Youtube dll. informasi hoax, fitnah, sara serta polarisai isu agama dan kelompok yang dapat memecah bela kerukukan masyarakat. Untuk memastikan proses kampanye berjalan susuai nilai-nilai kepatutan melalui peraturan secara tegas melarang terkait; menghina seorang, agama, suku, ras, golongan, calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati, calon wali kota, calon wakil wali kota dan partai politik (Baca: Pasal 57 -- Pasal 66 PKPU 13/2014).
Mengingat, isu sensitif yang dapat menuai retakan sosial. Maka memerlukan berbagai pihak untuk aktif memberikan pemahaman terhadap masyarakat, khususnya bagi tim pasangan calon yang menggunakan media sosial. Upaya tersebut merupakan tindakan mencegah, agar tidak terjadi gesekan sosial yang mengarah pada kasus hukum, apalagi anarki. Pendidikan politik tersebut menjadi penting dilakukan ditengah euforia demokrasi. Pengalaman telah banyak memberi pelajaran, bahwa kompetisi politik juga membuka kran konflik yang serius, sehingga dibutuhkan komitmen bersama untuk menjaga suasana yang kondusif, tentram, aman dan damai.
Wajudkan kampanye Berkualitas
Merebut suara masyarakat bukanlah pekerjaan mudah. Karena itu, perlu memiliki citra diri yang kuat, ide dan gagasan yang terukur. Untuk itu, perlu pendekatan politik populis agar bisa meyakinkan konstituen. Kampanye sebagai ruang edukatif, tidak hanya menyampaikan informasi. Namun juga merupakan seni komunikasi. Maka pasangan calon, tim sukses maupun pimpinan parpol sebagai komunikator harus mampu menyampaikan ide dan gagasannya. Paling tidak masyarakat mengetahui, bahwa pasangan calon  mengetahui persoalan daerah yang kompleks dan kemudian menawarkan solusi bagaimana mengatasinya. Â
Namun, dewasa ini tak jarang juga ditemui calon pemimpin (kepala daerah) yang minim ide, sehingga memilih jalan praktis, seperti; politik transaksional, fitnah, isu sara dan polarisasi agama. Meskipun dilarang di dalam peraturan (Red), sayangnya diabaikan "masa bodoh". Salain cara semacam itu tidak relevan dengan konsep pembangunan masa depan, juga bisa memecah belah. Masyarakat sebenarnya juga menyadari, salah satu tanda-tanda calon pemimpin yang korup, yaitu dengan cara membeli suara rakyat untuk meraih suara yang banyak. Â
Sebagai bentuk ikhtiar, perlu terus menarasikan bagaimana membangun kualitas demokrasi yang ideal dalam helatan pemilihan kepala daerah. Selah satunya, melalui kampanye yang berkualitas. Kualitas kampanye tentu dilihat dari potret pasangan calon bagaimana menempatkan masa kampanye Pilkada sebagai ruang pertempuran ide dan gagasan. Tujuannya, untuk memberikan pendidikan politik. Pesan yang disampaikan melalui kampanye tersebut mesti masuk akal serta mampu diterima, sehingga diyakini mampu menjawab persoalan yang sedang dialami dan rasakan oleh masyarakat.
Ada sebuah ungkapan, paling tidak  bisa memotivasi kita semua, mengingat pada tanggal 27 November 2024 nanti akan memilih kepala daerah. "Jika ingin melihat seperti apa calon pemimpinmu bekerja di masa depan, lihatlah ide dan isi pikiran yang disampaikan saat berkampanye". Untuk itu, sebagai masyarakat yang hidup dalam sistem demokrasi, perlu memiliki kemampuan yang kritis. Agar pilihannya jatuh pada pemimpin yang tepat.