Salah satu ancaman yang tampak sangat serius pemilu 2024 adalah politik uang (Money Politics), kenapa begitu? Sebab Money Politics bukan sekedar menjadi persoalan pemilu yang menggurita, tapi juga menjadi akar persoalan korupsi yang hingga kini kian sistemik. Bahkan sudah menjadi asumsi semua orang, bahwa Politik elektoral yang diraih melalui Money Politics, hanya akan melahirkan pemimpin yang tidak fair dan juga wakil rakyat yang koruptif.
Telah terkonfirmasi baik seacara data maupun dari cerita-cerita dari akar rumput bahwa setiap helatan demokrasi (pemilu) selalu diwarnai dengan jual beli suara atau suap menyuap untuk memenangkan salah satu calon. Ironisnya, kecurangan semacam itu sulit diungkap. Selain karena rumitnya proses pembuktian, barangkali karena masyarakat juga acuh untuk ikut mengawasi dan melaporkan, bisa jadi juga belum ada keseriusan untuk menanganinya.
Menurut hasil jajak pendapat Litbang Kompas kepada 505 responden nasional yang menyebutkan sekitar 36,5 persen responden menyatakan pernah mengetahui ataupun mengalami secara langsung pemberian uang yang dilakukan oleh kontestan di pemilu. Namun, sebagian besar yang mengetahui langsung praktek tersebut enggan melaporkan ke pihak yang berwenang. Selain itu, hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2019 menguraikan bahwa, sebanyak 48% masyarakat beranggapan jika politik uang hal yang biasa.
Saking mengguritanya, wabah (virus) politik uang rupanya juga tidak hanya melibatkan peserta pemilu dan pemilih (voters). Tapi, secara fakta juga menyeret penyelenggara terlibat di dalam pusaran Electoral malpractice tersebut. Misalnya, kasus semacam itu beberapa kali sudah terjadi dalam helatan pemilu. Disadari atau tidak, jelas politik uang merusak citra pemilu sebagai wujud sistem negara demokrasi dan merendahkan harga diri kedaulatan rakyat.
Beberapa kasus yang pernah terjadi misalnya, pada Pemilu 2014 Ketua dan anggota KPUD di Kabupaten Serang  diberhentikan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik, yaitu menerima suap berupa permintaan dana keamanan. Pada  Pilkada 2018, Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan Komisioner KPU KPUD di Garut ditangkap karena menerima suap  dalam bentuk uang dan mobil dari salah satu calon kepala daerah. Kemudian, tahun 2020 Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dalam operasi tangkap tangan karena suap.
Potret buram catatan perjalan pemilu yang terurai di atas, cukup menjadi alasan, agar kita semua berkomitmen bagaimana mewujudkan pemilu 2024 nanti bisa betul-betul bersih dari pelanggaran termasuk kecurangan berupa politik uang. Komitmen tersebut bisa ditujukan oleh peran-peran kita bagaimana mencegahnya.
Bahaya Laten Politik Uang
James Pollock (1920) menyatakan, relasi antara uang dan politik akan terus menjadi persoalan besar dalam demokrasi dan pemerintahan. Persoalan tersebut akan memberi dampak buruk yang sangat krusial. Sejumlah dampak buruh tersebut misalnya; semakin tumbuh suburnya perilaku korupsi, merusak citra demokrasi, merendahkan harkat martabat kedaulatan rakyat, semakin mahalnya biaya politik dan semakin langkanya mencari pemimpin dan wakil rakyat yang jujur dan adil.
Pertama, cikal bakal sebuah perilaku koruptif seorang pemimpin atau wakil rakyat, katakanlah itu DPR RI, DPRD Provinsi dan kabupaten atau kota atau pun kepala daerah tidak terlepas dari budaya suap dalam politik elektoral (pemilu). Kemenangan yang yang didapat melalui membeli suara, jelas bakal mengenyampingkan persoalan pembangunan atau agenda perubahan yang seharusnya dilakukan legislatif mau eksekutif atau oleh kepala daerah.
Kedua, merusak citra demokrasi. Politik elektoral (pemilu) merupakan wujud nyata demokrasi Indonesia. Pemilu sebagai instrumen demokrasi harusnya berjalan sesuai amanat konstitusi (Baca: UUD 1945 pasal 22E). Namun, praktek politik uang telah mencederai dan merusak kesucian demokrasi, sebab tidak sesuai dengan nilai-nilai kejujuran dan keadilan.
Ketiga, merendahkan harkat martabat kedaulatan rakyat yang telah dijamin konstitusi. UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) menyebutkan Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Artinya, pemilu bukti bahwa rakyat memiliki kekuasaan penuh untuk memilih pemimpin; baik presiden, kepala daerah, DPR maupun DPD. Sayangnya, harga diri kedaulatan rakyat dalam politik tersebut menjadi rendah tak bernilai karena politik uang.
Keempat, semakin mahalnya kost politik. Konsekuensi yang paling logis atas praktek politik uang ialah biaya politik itu semakin mahal. Sebab kandidat pemilu tidak hanya harus mengeluarkan kost untuk operasional politik saja, tapi juga butuh kost untuk membeli suara konstituen dan menyuap penyelenggara pemilu.
Kelima, sulit menemukan pemimpin yang jujur dan adil. Kekuasan politik yang didapat dengan cara curang melalui politik uang hanya melahirkan pemimpin tidak jujur dan tidak adil. Sebab mereka hanya berpikir bagaimana mengembalikan modal dan mendapatkan keuntungan untuk diri dan kelompoknya saja, tanpa memperhatikan kepentingan rakyat apalagi bangsa dan negara.
Mencegah Politik Uang
Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu merupakan 'antitesa' atas persoalan kepemiluan termasuk menangani pelanggaran pemilu berupa politik uang. Begitulah semangat awal Bawaslu itu dibentuk. Sebagai badan yang dibentuk untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu, bawaslu diberikan keistimewaan untuk mencegah dan menindak praktek politik uang. Itulah mengapa, tugas Bawaslu bisa dikatakan sangatlah berat, sebab menangani masalah malpraktek yang sudah akut dan membudaya serta mendarah daging dalam politik elektoral.
Tugas berat bawaslu tersebut, idealnya harus mempu dijawab termasuk politik uang yang masif dan sistematis. Tugas tersebut tidak semata-semata hanya berbicara soal penindakan atas konsekuensi dari sebuah pelanggaran. Namun yang perlu ditekankan yaitu soal mengelola pencegahan. Upaya pencegahan yang efektif, ialah ketika mampu mengintegrasi unsur penting  pemilu, sehingga memiliki keselarasan yang sama dalam sebuah sikap dan tindakan melawan politik uang.
Ada tiga unsur penting pemilu yang harus memiliki kesamaan pikir dan tindakan melawan politik uang. Ketiganya adalah penyelenggara pemilu (KPU-Bawaslu-DKPP), peserta pemilu (Partai Politik) dan konstituen (masyarakat). Bawaslu dalam konteks ini memiliki peran penting, sebab memilki tugas pencegahan. Upaya pencegahan bisa melalui forum pendidikan politik yang melibatkan ketiga unsur tersebut. Pendidikan politik, tujuannya adalah upaya membuka wawasan dan penyadaran terhadap resiko dan dampak buruk yang ditimbulkan atas perilaku suap dalam politik. Sehingga kemudian ketiga unsur tersebut memiliki komitmen yang sama melawan politik uang.
Mengaktifkan Kesadaran Masyarakat
Tindakan membeli suara rakyat atau menyuap penyelenggara pemilu pasti datangnya dari kandidat peserta pemilu atau pilkada melalui tim kampanye yang mereka bentuk. Dalam proses transaksinya sangat beragam, ada yang berbentuk uang, barang mewah hingga janji yang menggiurkan. Keterbatasan daya jangkau Bawaslu tentu saja salah satu problem untuk mendeteksinya. Sehingga butuh mata dan kesadaran masyarakat untuk ikut mengawasi dan melaporkan.
Dalam menjalankan tugas pengawasan, sejatinya disadari bahwa Bawaslu tak bisa bekerja sendiri, diperlukan keterlibatan masyarakat. Sayangnya, hasil jejak pendapat litbang Kompas sebagian besar responden (masyarakat) yang mengetahui langsung praktek politik uang enggan melaporkan. Hal itu tentu saja memperlemah daya jangkau untuk mendapatkan sumber  informasi pelanggaran pemilu. Belum lagi, masyarakat menganggap politik sebagai hal yang biasa dalam momentum pemilu dan pilkada.
Situasi ini, perlu disadari bahwa Bawaslu memiliki pekerjaan rumah yang mesti disegerakan, yaitu soal bagaimana 'mengaktifkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat' untuk ikut terlibat mengawasi dan melaporkan bila menemukan pelanggaran pemilu  yang dilakukan oleh oknum penyelenggara pemilu, peserta pemilu, tim kampanye,  oknum masyarakat atau oleh pihak-pihak yang dilarang terlibat dalam urusan dukung mendukung terkait pencalonan.
Upaya pencegahan pelanggaran pemilu dengan melibatkan masyarakat tentu saja dapat mengoptimalkan tugas-tugas Bawaslu. Namun bila masyarakat yang merupakan urat nadi atas demokrasi tersebut masih acuh dan abai. Maka sudah dapat disimpulkan pelaksanaan pemilu dan pilkada tahun 2024 tahun depan, hanya akan menambah cerita kejahatan pemilu dan daftar panjang catatan suram demokrasi kita.