Mohon tunggu...
KOMENTAR
Otomotif Pilihan

Razia di Ujung Jalan; Langkah Preventive atau Pembiaran?

29 Januari 2014   18:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:20 106 0
Tertib berlalu lintas di Jakarta khususnya memang sangat memprihatinkan, puluhan mungkin ratusan angka kecelakaan lalu lintas tiap harinya. Dan tak terhitung pula yang menjadi korban meninggal dunia. Perhatikan Menurut data Kepolisian Republik Indonesia pada 2012, total kecelakaan lalu lintas mencapai 109.038 kasus dengan korban meninggal dunia 25.131 orang. Berarti, sehari 81 orang meninggal atau 3 orang setiap jam. Bayangkan itu belum termasuk dengan kecelakaan lalu  lintas yang tidak terdata oleh Kepoisian. Dan itu merukan data tahun 2012, bayangkan di Amerika yang mempunyai ranking kendaraan bermotor tertinggi di dunia dengan rasio 7:10 dengan jumlah penduduk. Akan tetapi angka kecelakaan lalu lintas boleh dikatakan kecil. Apalagi yang disebut dengan kemacetan, bahkan tidak pernah kita dengar. Kembali kepada pelanggaran lalu lintas yan terjadi di DKI Jakarta, yang bisa dijadikan alasan adalah kemacetan, dan kalau kita usut kembali yang menjadi penyebabnya adalah; Kesadaran masyarakat dalam berkendara (kesembrautan kendaraan), ketersediaan sarana jalan yang tidak memadai, tindakan dari oknum-oknum yang parkir dan/atau menyediakan parkir sembarangan. Nah, kalau kita bahas satu persatu, kesadaran masyarakat dalam berkendara, kalau mereka mau teratur dalam berkendara maka tidak akan menyebabkan kemacetan terlalu parah. Rasa ingin mendahului pengemudi yang ada di depannya sehingga menyebabkan jalan yang seharusnya dilalui oleh dua mobil harus dibuat tiga baris, sehingga pengendara motor yang seharusnya melaju di jalur kiri tidak kebagian tempat. Maka dari itu keinginan pengendara motor untuk masuk ke celah-celah antara mobil,  hal inilah yang menyebabkan kesembrautan jalan. Kedua, sarana jalan tidak memadai, banyaknya galian yang silih berganti akibat tidak ada sinkronisasi antara pihak Dinas Pekerjaan Umum, Telkom, PLN, PDAM dan lain sebagainya. Sarana jalan yang baru selesai dikerjakan oleh Dinas Pekerjaan Umum sudah harus digali lagi oleh pihak Telkom, PLN maupun PDAM ataupun pihak-pihak lain yang terlibat. Hal ini selain menimbulkan kemacetan dan kerusakan fisik jalan yang seharusnya rata, harus berlobang-lobang. Ditambah lagi dengan ketersediaan jembatan penyeberangan atau ketidak nyamanan pejalan kaki untuk menyebrang di jembatan penyeberangan. Ini akan menyebabkan kemacetan bahkan kecelakaan lalu lintas. Ketiga, Kerterlibatan oknum-oknum pemerintah maupun mereka yang mempunyai kekuasaan baik itu Polri maupun TNI untuk mengontrol parkir-parkir liar, sehingga badan jalan yang seharusnya dipergunakan sebagai jalan raya harus terbagi menjadi tempat parkir. Suatu bisnis yang sangat mudah tanpa mengeuarkan biaya sepersenpun namum mempunyai omset yang luar biasa tiap harinya. Faktor kemacetan diatas sehingga menimbulkan banyak pengendara kendaraan bermotor melanggar rambu-rambu lalu lintas. Jarak tempuh yang seharusnya ditempuh dengan waktu 10 menit disaat jalanan sepi harus ditempuh dengan waktu 1 hingga 2 jam bahkan lebih pada saat macet. Suatu penyakit yang selalu dipusingkan oleh warga DKI Jakarta tiap harinya. Alternative untuk melanggar aturan lalu lintas merupakan langkah efektive bagi pengendara untuk menghemat waktu, tenaga bahkan keuangan (bensin) walaupun harus beresiko maut. Seolah-olah melanggar lalu lintas sudah menjadi bagian dari kehidupan warga DKI Jakarta. Langkah efektif yang harus dilakukan oleh pemerintah maupun Polantas selain membenahi sarana dan prasarana jalan yang ada. Pihak kepolisian harus berjaga-jaga disetiap persimpangan yang sering pelanggaran lalu lintas. Tidak perlu banyak-banyak, satu atau dua orang yang berjaga sudah cukup. Seperti halnya peristiwa yang terjadi baru-baru ini, kecelakaan yang terjadi di Jembatan Layang Non Tol dari Karet - Casablanca yang menelan korban jiwa, hanya karena menghindari razia Polisi di ujung jembatan. Bukannya pengendara kendaraan bermotor tidak bisa membaca atau buta akan rambu-rambu lalu lintas, melainkan karena ikut-ikutan karena ada yang di depan mereka yang menerobos rambu-rambu yang seharusnya tidak membolehkan mereka masuk. Apalagi dengan jembatan layang yang sangat tergolong baru, seharusnya ada pihak Polantas dan/atau Perhubungan yang berjaga-jaga di pintu masuk jembatan, bukannya melakukan razia di ujung jembatan. Kalau mereka melakukan penjagaan di pintu masuk yakinlah tidak akan ada yang menerobos jalan tersebut. Akan tetapi dengan melakukan razia di ujung jembatan berapa ratus motor yang akan terjebak dengan razia tersebut? Apakah ini merupakan langkah untuk penetiban lalu lintas atau malah sebaliknya membuat warga masyarakat melakukan pelanggaran untuk kedua kalinya. Dan kalau sudah jatuh korban seperti ini apakah pihak korban saja yang patut dipersalahkan? Dimana tanggung jawab pemerintah atau Polantas yang menangani khusus hal ini? Apakah mereka lebih mengutamakan targer sesusai omongan yang sudah menjadi rahasia umum atau menekan angka pelanggaran lalu lintas? Ini merupakan pesan khusus untuk pihak Korlantas Polda Metro Jaya agar dievaluasi lagi langkah yang telah mereka lakukan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun