Isu reshuffle kabinet yang digembor-gemborkan saat ini membuat beberapa orang dan partai koalisi panik. Mereka takut ada beberapa menteri yang dicopot dari partai mereka. Dan isu itu terus digemborkan tanpa kenal henti. Tapi saat ini Presiden SBY belum juga bisa menentukan dan mengumumkan hasil dari reshuffle kabinet itu. Sebagian masyarakat mungkin juga jengah karena presiden SBY juga pernah melakukan hal yang sama ketika masa pemerintahan sebelumnya. Dimana presiden melakukan reshuffle kabinet juga yang malah akhirnya itu hanya bisa menjaga kekuasaannya tapi tidak bisa membawa perubahan pada masyarakat Indonesia. Ini sudah merupakan masa pemerintahan SBY yang kedua, dan presiden melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan pada pemerintahan periode sebelumnya SBY saat dalam Kabinet Indonesia Bersatu I sudah dua kali melakukan reshuffle.
Berdasarkan laporan Ketua UKP4 (Unit Kerja Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) Kuntoro Mangkusubroto, menteri Kabinet Indonesia Bersatu jilid II yang mendapat rapor merah adalah Menteri Pekerjaan Umum Joko Kirmanto, Menteri Komunikasi dan Informatika, Kepala Bakosutarnal, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, , serta Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Namun tampaknya tidak ada yang bisa tahu bahwa siapa saja yang layak diganti kecuali SBY. Dasar pertimbangan tersebut bisa saja tidak hanya dipengaruhi kinerja tetapi perkembangan politik terutama semakin mesranya PDI Perjuangan dan Partai Golkar dengan partai penguasa sekarang ini. SBY tampaknya tidak ingin kerjanya direcoki oposisi dan DPR yang kadang tidak logis dan realistis dalam mengkritik pemerintah.
Sayangnya selama ini desakan reshuffle itu timbul bukan atas penilaian kinerja menteri dan kasus pelanggaran hukum dan moral tetapi karena desakan politik dan tekanan publik dan media masa yang tidak berdasarkan fakta. Bisa saja penilaian masyarakat dan media masa mungkin bisa saja dijadikan referensi tetapi bukan pertimbangan utama. Karena penilaian masyarakat dan media masa kadang banyak dipengaruhi oleh kepentingan individu dan kelompok tertentu.
Reshuffle kabinet ini merusak perjuangan demokrasi yang telah dilalukan oleh masyarakat Indonesia. Yang mana ini dibuktikan oleh pemilihan umum secara langsung. Memang ketika pemilihan rakyat tidak begitu tahu banyak tentang detail orang siapa yang dipilih. Karena mereka hanya tahu memilih partai-partai yang akan duduk di kursi DPR. Yang mereka harap dapat menyalurkan aspirasi mereka. Dan ketika masyarakat sudah percaya ke beberapa pihak partai. Presiden malah mencobak-cabik nilai demokrasi itu dengan melakukan reshuffle kabinet. Apa yang sekarang ingin dikomunikasikan oleh presiden dengan kebijakannya itu.
Banyak argument yang muncul dari rencana reshuffle kabinet saat ini. Salah satunya adalah pendapat bahwa tidak lain dan tidak bukan yang akan tersampaikan dari komunikasi politik yang dilakukan presiden dengan mereshuffle kabinetnya adalah presiden hanya ingin membentuk sebuah tim yang bisa mendukung dan mempertahankannya. Presiden tidak ingin ada partai atau menteri yang menghambat kekuasaannya. Dan tentunya ini akan menimbulkan konflik di masa mendatang. Kejengahan masyarakat akan berujung pada sebuah benturan yang jika tidak diselesaikan dari sekarang akan menjadi masalah besar. Mungkin bagi golongan yang tidak berpendidikan isu ini tidak berpengaruh apa-apa. Karena mereka hanya tahu bagaimana cara mengisi perut mereka. Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa presiden SBY akan berakhir seperti mantan presiden soeharto yang digulingkan oleh mahasiswa atau dalam arti kaum yang berpendidikan karena salah dalam mengambil kebijakan.
Miris memang jika kita melihat fenomena politik di Indonesia saat itu, tampaknya jabatan profesional tidak akan banyak menjadi pergantian. Sebaliknya jabatan “politis” menteri mungkin yang akan jadi pergantian. Seharusnya SBY jangan mudah terpancing dengan desakan Reshuffle kabinet yang dilakukan masyarakat, media masa atau kelompok masyarakat tertentu tanpa pertimbangan professional.