Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Kehilangan Dua Maestro

20 Mei 2010   16:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:05 208 0
Bulan Mei 2010, Indonesia kehilangan 2 (dua) sosok maestro dibidangnya masing-masing. Beliau adalah orang-orang yang telah mendedikasikan dirinya bagi dunia seni budaya di Indonesia. Nama mereka tidak hanya dikenal di Indonesia tetapi juga hingga ke mancanegara. Tulisan ini didedikasikan bagi dua seniman besar yang sama-sama besar justru karena loyalitas mereka terhadap seni lokal. Kedua nama ini juga “nyaris’ dilupakan oleh generasi MTV tetapi tidak oleh masyarakat dunia.

Sirajuddin Dg Bantang; Maestro Pasinrilik

Nama Sirajuddin Dg Bantang adalah nama yang tidak asing lagi bagi publik Sulawesi Selatan pada khususnya serta masyarakat dunia pada umumnya. Lewat gesekan sinrilik (keso’-keso‘) dan paruntuk kana dan pappasang tu riolo ia bertutur menyampaikan pesan-pesan adiluhung kepada penikmatnya. “Tak heran bila penyirinli selalu bolak balik ke istana untuk menyampaikan pesan dari raja. Supaya pesan itu lebih memikat perhatian rakyat, maka disampaikan dengan gaya bertutur yang indah tetapi penuh isi dan makna ,” kata Sirajuddin dalam sebuah kesempatan seperti yang ditulis Fajar News.

Seniman yang lahir pada tanggal 14 November 1946 ini, adalah nama yang tak bisa dipisahkan dari perkembangan seni budaya Makassar. Pada tahun 1970-an, bersama Andi Idjo dan Andi Tjoneng, beliau mendirikan Sanggar Seni Batara Gowa. Sanggar inilah yang banyak berjasa memperkenalkan seni budaya Makassar hingga kebelahan bumi lain. Tak berhenti sampai disitu, pada tahun 1989, beliau juga mendirikan Sanggar Siradjuddin dan menjabat sebagai pembina hingga akhir hayatnya. Sadar bahwa pasinrilik semakin langka, ia bahkan memperjuangkan agar seni sinrilik dimasukkan dalam pelajaran sekolah.

Dedikasinya yang besar membuat Departemen Kebudayaan R.I menganugerahinya gelar Maestro Budaya. Wajar, jika ia mendapatkan gelar maestro karena dedikasinya yang besar terhadap sinrilik. Pada tahun 1980, beliau berhasil meraih koreografer terbaik Indonesia.  Ia juga masuk kategori tiga besar seniman terbaik dalam Kanada Ekspo 1986 di Kanada, serta pernah menjadi tenaga pengajar seni sinrilik di Australia selama tiga bulan.

Beliau telah menekuni seni sinrilik sejak mulai awal 1990an melalui TVRI Makassar bahkan hingga tahun 2010. Saya terakhir kali melihat penampilannya di salah satu tv lokal Makassar, tahun 2010, saat itu beliau tampil membawakan sejarah Syech Yusuf. Dalam penampilannya beliau tidak hanya bercerita sejarah tapi juga memberikan nasehat-nasehat bagi kehidupan.

Syech Yusuf dan Sufisme, tampaknya menyita perhatiannya. Terbukti, beliau juga menulis buku berlatar religi antara lain Makrifat Cinta Syekh Yusuf, Santri Lembah Selatan, Kelong-kelong Sufi, Gadis Berjilbab Mencari Allah, Adzan di Bukit Hidayah, serta Syech Yusuf Menuntun Kita Ke Surga. Tentu saja selain buku itu ia juga menulis sejumlah buku lainnya seperti Kisah nyata Anak Pagandeng Jadi Dokter, Sastra Makassar, serta Guru Sebagai Pendidik yang Humanis. Adapun bukunya yang belum rampung adalah naskah Sinrili Kappala Talambatua. Naskah yang menceritakan kisah antara Kerajaan Bone dan Gowa. Juga naskah sinrilik tentang kisah Syekh Yusuf yang akan dipentaskan di Afrika Selatan bersamaan dengan diresmikannya replika Balla Lompoa sebagai museum Syekh Yusuf di Afrika Selatan.

Tak hanya melalui TV, ia juga terus menghibur pencintanya lewat siaran radio Rewako FM dalam acara Sinrilik Rewako setiap kamis malam. Radio Rewako FM adalah Radio milik Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa. Di kancah internasional, beliau memperkenalkan sinrilik sejak tahun 1970an mulai dari benua Asia, Amerika juga Eropa, seperti yang ditulis Tribun Timur.

Ia akhirnya meninggalkan pencintanya pada tanggal 14 Mei 2010 pada usia 64 tahun di Rumah Sakit Islam Faisal Makassar. Dan dimakamkan di kampung halamannya Desa Taeng, Kecamatan Palangga, Gowa.

Gesang; Mengalir Sampai Jauh

Maestro berikutnya yang kita bicarakan adalah Gesang. Lewat musik keroncong dan langgam Jawa, namanya membahana hingga jauh. Orang banyak mengenalnya lewat lagu Bengawan Solo yang telah diterjemahkan ke dalam 33 bahasa, walau tentu saja banyak karyanya yang layak untuk dinikmati dan diapresiasi. Dedikasinya pada musik keroncong, membuat beliau bahkan masih mampu untuk melakukan rekaman saat usianya 88 tahun pada tahun 2002.

Seniman bernama asli Gesang Martohortono lahir pada tanggal 1 Oktober 1917 di Surakarta. Beliau mengawali karirnya sebagai penyanyi keroncong pada pesta kawinan di Solo. Usia 23 adalah usia dimana ia menciptakan lagu Begawan Solo, diusia itu pula ia pertama kalinya memainkan  flute saat bergabung dengan kelompok keroncong.

Namanya dikenal hingga belahan dunia lain. Jepang misalnya. Masih terngian dibenak saat saat beberapa warga Jepang tampil diacara Kick Andy dan membawakan lagu Begawan Solo milik Gesang. Jepang tampaknya merupakan negara yang sangat mengapresiasi karya besar Gesang. Pada tahun 1983, Jepang mendirikan Taman Gesang di dekat Bengawan Solo. Pengelolaan taman ini didanai oleh Dana Gesang, sebuah lembaga yang didirikan untuk Gesang di Jepang.

“Sekali Ku Hidup, Sekali Ku Mati, Aku Dibesarkan Di Bumi Pertiwi, Akan Kutinggalkan Warisan Abadi, Semasa Hidupku Sebelum Aku Mati. Lambaian Tanganku Panggilan Abadi, Semasa Hidupku Sebelum Aku Mati,” pesan Gesang dalam salah satu lagunya. Beliau akhirnya harus meninggalkan kita dengan warisan abadinya pada tanggal 20 Mei 2010 di RS. PKU Muhammadiyah Solo.

Gesang boleh meninggalkan kita, tetapi seperti pesannya yang diucapkan di Kick Andy, “keroncong jangan sampai mati!” harus tetap diingat.

Sumber:

http://www.tribun-timur.com/read/artikel/103898/Pengajar_di_Australia_Tampil_di_AS_dan_Eropa

http://tempointeraktif.com/hg/makassar/2010/05/14/brk,20100514-247926,id.html

http://news.fajar.co.id/read/84013/127/index.php?option=iklan

http://id.wikipedia.org/wiki/Gesang

http://www.mediaindonesia.com/read/2010/05/20/144105/92/14/Gesang-Riwayatmu-Kini….

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun