Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Konflik Perbatasan Desa di Aceh

25 Maret 2010   10:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:12 582 0


Menarik mencermati perubahan sosial paska perdamaiaan dan Rekontruksi di Aceh, kebanyakan dalam setiap analisis konflik selalu melihat konflik yang muncul di permukaan adalah konflik vertikal dan horizontal. Namun seakan terlupan bahwa kondisi daerah paska konflik sangat rentan muncul berbagai persoalan sosial yang bisa muncul antara setiap personal bahkan komunitas.

SoPAN mencermati ada banyak kasus konflik perbatasan Desa yang muncul, konflik ini muncul dari perebutan aset yang berada di perbatasan satu desa dengan desa yang lain. Sebut saja contohnya persengketaan antara Desa Ie Rhob dengan Desa Alue Mangki yang telah terjadi sejak tahun 1996 sampai sekarang. Berikut saya tuliskan bagaimana konflik perbatasan Desa yang terjadi antara Desa Ie Rhob dengan Desa Alue Mangki.

Latar Belakang.

Konflik muncul berawal pada sebidang tambak yang dimiliki oleh salah seorang masyarakat dari  Desa Alue Mangki (yang merupakan tetangga desa Ie Rhop) yang terletak di Desa Ie Rhob. Tambak-tambak yang terletak di Desa Ie Rhob adalah tambak yang dibuka pada waktu pembentukan desa tersebut pada tahun 1953. Pada waktu tambak yang berada di perbatasan desa tersebut di  jual oleh mepimilik nya yang berasal dari Desa Alue Mangki ke pembeli yang berasal dari luar Desa. Pada saat penjualan tambak tersebut pengurusan penjualan tanah di buat di Desa Alue Mangki yang dibuat di kantor Camat dnegan persetujuan Mukim pada saat itu.  Karena surat pembelian pertama di buat di Desa Alue Mangki maka  orang yang membeli tambak tersebut secara admisnistrasi sampai dengan sekarang dibuat di Desa Alue Mangki. Karena kondisi ini maka sampai dengan sekarang Desa Alue Mangki mengklaim wilayah tambak tersebut masuk ke wilayah desa Mereka. Sebelum tambak tersebut dijual, Pajak IPEDA dibayar ke Desa Ie Rhob, namun setelah tambak-tambak ini dijual pajak nya dibayar ke Alue Mangki.

Munculnya konflik.

Karena pajak IPEDA yang terus dibayar ke Desa Alue Mangki sehingga tokoh-tokoh masyarakat di Ie Rhop merasa dirugikan, sehingga mencoba membicarakan persoalan tersebut antar dua Desa, namun Desa Alue Mangki tidak menyetujui wilayah batas tersebut masuk ke Ie Rhob.

Konflik mencuat paska Stunami karena  kedua Desa tersebut terkena imbas Tsunami dimana  banyak proyek yang masuk. Sebut saja proyek membuat jalan Desa oleh BRR dimana proyek tersebut menghasilakn fee untuk desa dan para pemuda memdapatkan uang dari penjagaan alat berat yang masuk kedesa mereka. Karena kedua desa mengklaim perbatasan tersebut maka pada saat tersebut pihak masyarakat Ie Rhob membuat inisiatif membuat batok desa yang kemudian di rusak oleh para pemuda dari Desa Aleu Mangki, namun perusakan tersebut tidak di Respon oleh para pemuda Desa Ie Rhop sehingga tidak menimbulkan terjadinya pertikaan dua kelompok desa tersebut.  Namun ada juga masyarakat yang komplain dengan kondisi tersebut, mereka menginginkan kejelasan terhadap kondisi tersebut. Dawa dawi persoalan tanah tersebut sering terjadi antara oknum masyarakat Desa Alue Mangki dengan Ie Rhob.

Apa yang sudah dilakukan oleh masyarakat…?

Masyarakat Desa Ie Rhob sudah pernah mengajukan kepada pemerintahan (Camat dan Mukim), namun sampai sekarang belum ada hasil yang dirasakan. Kecamatan hanya merespon pada waktu tersebut, namun sesudah sekian lama belum juga ada hasil. Upaya yang dilakukan oleh Kecamatan hanya sampai pada batas pemanggilan kepala Desa kedua-dua Desa tersebut dan menanyakan duduk persoalan tersebut. Sementara pihak Kapolsek Gandapura hanya melakukan pengamanan ketika terjadi perusakan batok desa saja.

Bagaimana penyelesaiaan konflik..?.

Menurut pendapat dari beberapa tokoh desa Ie Rhobbahwa konflik tersebut masih bisa diselesaikan pada saat ini, karena masih ada tokoh-tokoh yang mengerti dan terlibat  saat konflik pertyama muncul, selain itu dengan menggali data-data di pemerintah Kabupaten Aceh Utara karena sebelum dimekarkan Bireuen masuk dalam Kabupaten Aceh Utara. Menurut tokoh-tokoh masyarakat tersebut, dengan mencari informasi yang berimbang dari kedua Desa tersebut, kemudian penyelesaiaan di lakukan dengan pendekatan ADAT karena masyarakat lebih mendengar tokoh-tokoh adat dari pada pemerintah Kecamaatan, karena tokoh-tpkph adat adalah orang-orang yang  mereka pilih sendiri dan lebih dekat dengan masyarakat.

Lihat di

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun