Salah Kaprah 1 : Memperbandingkan pengalaman che khu orangtua dengan pengalaman si anak di saat si anak mau berkeluh kesah.
Siapapun membutuhkan seseorang yang bersedia meminjamkan telinganya sebagai tempat curahan hatinya. Begitu juga dengan anak anda. Berdasarkan pengalaman saya pribadi, saya sering menemukan bahwa saat saya baru mau berkeluh-kesah, saya malah langsung dibalas dengan kalimat “ah baru segitu aja sudah mengeluh, bapak / ibu waktu seumur kamu lebih susah lagi”. Ada 2 kesalahan pada pemakaian kalimat ini yaitu tidak diucapkan di saat yang tepat dan tidak memberikan solusi atas keluh kesah si anak.
Kalimat inipun berekasi pada diri si anak. Si anak bisa saja merasakan bahwa orangtua enggan mendengarkan keluh kesah si anak dan malah membuat jarak dengan orangtua. Anak juga merasakan bahwa tidak ada nasehat yang berguna bagi dirinya. Bukan tidak mungkin si anak malah mencari sosok lain untuk tempat berkeluh kesah dan mencari solusi sendiri. Kalau sudah begini, orangtua malah bertanya balik “kenapa anak-anak tidak dekat lagi dengan saya?” Anda menanam, anda juga yang menuai. Jangan kaget ini adalah akibat ucapan anda sendiri “ah baru segitu aja sudah mengeluh, bapak / ibu waktu seumur kamu lebih susah lagi”
Che khu bukan untuk diperlombakan
Salah Kaprah 2 : Menerapkan standar che khu versi orangtua
Pada masa ABIG (Angkatan Bapak Ibu Gua) mungkin masih perlu nimba sumur untuk keperluan air sehari –hari (proses manual). Sedangkan pada masa sekarang sudah dimudahkan dengan adanya pompa air listrik. Lantas orangtua berkata, “kamu susah apanya sih, udah dipermudah semua”.
Dari sudut pandang orangtua, tampak dipermudah sehingga anak tidak perlu bersusah payah untuk bidang yang sama. Tapi tidak demikian halnya dengan si anak. Satu sisi memang dipermudah tapi muncul susah di bidang lain. Pada anak, ucapan ini malah bermakna, “orangtua tidak peka” (lagi-lagi) atau “kenapa selalu yang dipakai itu standar orangtua” atau malah menjadi tantangan bahwa supaya dianggap harus bisa menyamai susah yang dialami orangtua, padahal bukan begitu.
Perlu kebijaksanaan orangtua untuk melihat bahwa susah yang dialami tiap generasi berbeda dan tidak ada standar baku.
Salah Kaprah 3 : Untuk dunia kerja : che khu adalah satu-satunya jalan menuju sukses.
Ini adalah bentuk aplikasi dari salah kaprah 2 yang disebutkan di atas. Lagi-lagi yang menjadi panduan adalah pengalaman masa ABIG, di mana banting tulang saat bekerja sudah cukup.
Seiring perkembangan jaman, prinsip ini perlu dimodifikasi bunyi kalimatnya, menjadi : Tanpa che khu tidak mungkin sukses, tapi dengan hanya mengandalkan che khu juga tidak bisa.
Salah Kaprah 4 : Masih tentang dunia kerja : abuse terhadap pelaksanaan che khu
Prinsip che khu yang diturunkan sudah makin melenceng. Orangtua di rumah masih memegang salah kaprah 3 yang disebutkan di atas. Sementara di dunia kerja, tidak sedikit para atasan yang menggunakan prinsip ini untuk membenarkan perilaku yang mendukung workaholic. Yang lebih parah lagi, tidak sedikit pula yang mencuci otak pegawai baru untuk mengikuti jejak ini. Yang paling kasihan adalah pegawai baru yang di lingkungan keluarganya menerapkan prinsip ini dan menemukannya lagi di lingkungan kerja.
Si pekerja yang jenuh dengan ketidak-beresan pada prinsip ini dan memutuskan untuk keluar malah menemukan pihak keluarga yang menasehatinya untuk tetap di perusahaan tersebut. Maka terjadilah salah kaprah yang berikutnya.
Salah Kaprah 5 : che khu sudah identik dengan pasrah
Kita ambil contoh si pegawai itu tadi. Orangtua berpendapat bahwa dia tidak tahan dnegan penderitaan. Harap dibedakan antara bersedia menghadapi kesusahan dengan kepasrahan. Bersedia menghadapi kesusahan adalah suatu bentuk kerelaan untuk menerima keadaan bahwa memang kesusahan akan selalu ada pada pilihan apapun. Sementara, saat hadir pilihan untuk mengambil penderitaan yang relatif lebih ringan, maka ketidak-bersediaan untuk mengubah keadaan yang ada adalah suatu bentuk keterpaksaan yang mungkin terjadi atas pemaksaan pihak lain.
Che khu diterapkan dengan tujuan bahwa pengorbanan harus berguna di kemudian hari. Bukan lantas menjadi pasrah. Che khu harus diterapkan dengan bijak karena pada akhirnya yang dicari adalah masa depan yang lebih baik bukan pasrah menjadi korban perbudakan.
Akhir kata :
KUNCINYA ADALAH KEBIJAKSANAAN DALAM MENERAPKAN PRINSIP CHE KHU YANG SESUAI DENGAN JAMAN
JIKA BISA, MILIKILAH KEBIJAKSANAAN DULU SEBELUM JADI ORANGTUA
Saya masih belum menjadi orangtua, tapi saya sudah lebih dahulu menjadi anak dari orangtua saya. Masalahnya, sering kita butuh orang lain untuk evaluasi sesuatu hal pada diri kita, termasuk anak, yang demi kebaikan, mengevaluasi orangtua. Tapi hal ini kerap dianggap kurang pantas tapi harus.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi para calon orangtua agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dalam mendidik anak.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang sudah jadi orangtua untuk referensi.