Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Mencari Rayap Rayap Proyek Mess Santri

19 Desember 2014   04:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:59 209 0
(Liputan Mendalam Tentang Pembangunan Proyek Mess Santri Kemenag Jatim)

Proyek telah tumbuh melampaui makna hakikinya. Kata itu berkonotasi negatif meski tidak selalu, karena ada aroma korupsinya. Bahkan proyek pemerintah yang dikerjakan instansi berbasis agama tidak menjamin berlangsung jujur. Seperti proyek mess santri di bawah kanwil kementerian agama Jatim yang tengah ditelisik kejaksaan tinggi Jatim.

Tiga pegawai negeri sipil berseragam dinas sibuk mengelilingi dua gedung baru yang terletak di sisi belakang kantor kanwil kementerian agama Jatim akhir Januari 2014 lalu.

Satu demi satu bagian gedung itu dilihat seksama. Dari satu sudut ruangan hingga sudut ruangan lainnya. Dari satu lantai ke lantai lainnya.

Tidak hanya di bagian dalam, pegawai yang ditunjuk menjadi anggota tim penerimaan barang itu juga melihat satu per satu bangunan dari sisi luar. Hampir semua bagian gedung itu dilihat detail. Aktivitas yang dimulai pukul 08.00 tersebut baru selesai pada tengah hari.

Mereka tidak hanya melihat tapi juga mencatat hasil proyek pembangunan gedung baru yang bakal dipakai untuk mess santri itu. Ketiganya diminta datang dan menjalankan tugas setelah rekanan yang mengerjakan proyek tersebut menyatakan proyek selesai. Mereka harus meneliti sebelum menerima hasilnya.

Tim yang seharusnya tinggal memberikan tanda check list untuk semua pekerjaan itu malah sibuk membuat catatan. Sebab, mereka mendapat sejumlah temuan yang menjadi catatan penting seblum menerima proyek tersebut.

Catatan itu mengenai sejumlah kerusakan serius yang terlihat kasat mata pada gedung yang dinyatakan selesai akhir Desember 2013 tersebut. Atau 20 hari setelah pembangunan dinyatakan selesai.

Kerusakan yang didapat tim itu antara lain keramik yang lepas, banyak sisi gedung yang retak, atap ambrol, sampai besi tangga yang dipasang tidak simetris. “Penilaian itu Cuma fisik yang kasatmata, tidak melihat spesifikasi,” kata seorang sumber kepada Jawa Pos.

Temuan tersebut kemudian disampaikan kepada pejabat pembuat komitmen (PPK). Rekomendasinya, memperbaiki semua kerusakan itu. Sebab, bangunan tersebut baru selesai dibangun, tapi diserahkan dalam kondisi rusak. Namun, rekomendasi itu tidak ditindaklanjuti PPK.

Ketidakberesan proyek tersebut menjadi rasan rasan di internal kantor yang membawahi urusan agama di Jatim itu. Penyebabnya, tim penerima barang menolak menandatangani berita acara penerimaan barang karena banyak kerusakan.

Sikap itu membuat PPK kelabakan. Sebab semua anggaran sudah terlanjur dicairkan. Pencairan anggaran itu dianggap sah ketika gedung yang dibangun sudah dinyatakan sesuai spesifikasi dan diterima.

Rasan-rasan semakin kental karena banyak yang melihat ada ketidakberesan dalam proses pengerjaan proyek yang memakan anggaran Rp 14,4 miliar itu. Tapi, tidak semua merasakan manisnya “madu” proyek tersebut. Intinya, hujan tidak merata.

Tarik ulur itu sampai membuat bos tertinggi di kantor tersebut meradang. Kemarahan tersebut diketahui banyak pegawai di bawahnya karena sering dilontarkan di sejumlah pertemuan resmi internal. Desas desus ketidakberesan meluas dan menjadi bahan pembicaraan secara tertutup di kalangan pegawai.

Padahal, saat itu bangunan terseut masih punya garansi. PPK menentukan masa perawatan selama empat bulan sejak Januari-April 2014. Sampai batas masa perawatan habis, bangunan itu ternyata belum juga diperbaiki.

Kejanggalan lain mulai mengemuka. Salah satunya, uang jaminan pengerjaan proyek yang diserahkan rekanan sekitar Rp 700 juta sudah dicairkan. Padahal, masa perawatan belm habis. Sesuai aturan, uang jaminan itu bisa dicairkan setelah proyek tersebut diperiksa dan dinyatakan diterima tim penerima barang. Ketidakberesan proyek itu akhirnya menjadi konsumsi publik di internal kanwil kementerian agama Jatim ketika tim pemeriksa dan penerima barang terbelah.

Konon, ketua tim menolak menandatangani berita acara penerimaan barang karena rekanan yangmengerjakan proyek enggan memperbaikinya. Apalagi, kerusakan itu cukup parah untuk kategori bangunan baru.

Entah bagaimana prosesnya, empat anggota tim pemeriksa dan penerima barang mau menandatangani berita acaranya. Mereka menyatakan bahwa bangunan itu telah selesai digarap sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Sementara itu, sang ketua tim tetap menolak membubuhkan tanda tangannya.

Dua bangunan yang rencananya dijadikan mess santri itu memakan anggaran yang tidka kecil. Untuk gedung A dengan tiga lantai, anggaran yang dihabiskan Rp 7,5 miliar. Sementara itu, gedung B dengan dua lantai menyedot duit Rp 6,9 miliar. Proyek itu dikerjakan dua rekanan yang berbeda.

Bangunan yang cukup mentereng tersebut tidak bisa dilihat dari depan kantor kanwil kemenag, pun demikian dari sisi belakang kantor. Dua gedung gres itu baru terlihat setelah berjalan sekitar 500 meter ke arah belakang dan melewati jembatan kecil yang berkelok. Jalan menuju lokasi tersebut masih berupa tanah.

Ketidakberesan tersebut akhirnya didengar kejaksaan tinggi Jatim. Korps Adhyaska di jalan Ahmad Yani itu akhirnya menerjunkan tim khusus untuk menyelidiki informasi tersebut.

Tim menyelidiki proyek itu sekitar sebulan lalu. Hasilnya, mereka mencium aroma permainan dalam pembangunan gedung. Jaksa yang tidak ingin salah langkah langsung menggandeng Universitas Brawijaya.

Kampus negeri ternama itu pun menunjuk tim forensik dari laboratorium teknik untuk menemani tim penyelidik dari kejati Jatim. Tidak tanggung- tanggung, 18 ahli di bidang konstruksi diterjunkan untuk melihat dan menilai bangunan tersebut.

Tim forensik itu menguji konstruksi bangunan pada Kamis pekan lalu (11/12). Dengan mengendarai tiga mobil Toyota Kijang, mereka tiba di depan bangunan tersebut menjelang siang.

Tatapan mereka langsung tertuju pada dua bangunan bertingkat yang ada di hadapannya. Para driver langsung sibuk menurunkan muatan yang dibungkus banyak tas mirip orang mau melancong.

Para ahli itu bergegas mempersiapkan diri. Setumpuk dokumen perencanaan dan pengerjaan proyek dibentangkan. Sejumlah peranti teknik elektrik dan manual disiapkan untuk menunjang pengujian. Mereka membagi pekerjaan sesuai tugas  dan keahlian masing-masing.

Meski belum melakukan kegiatan apa pun, tim forensik sudah banyak menemukan kerusakan yang tersebar di banyak sisi. Ketika berjalan ke dalam gedung A, perhatian mereka tersita pada permukaan tembok yang terlihat jelas tidak rata. Bentuknya mirip kulit yang mulai menua.

Tidak perlu mendekat untuk melihatnya. Dari jauh pun sudah tampak jelas permukaan tembok awut-awutan. “Hehehe....,” kata seorang anggota tim forensik sambil menunjuk permukaan tembok. Para ahli yang melihatnya pun nyengir.

Kedatangan tim forensik semakin memperjelas ketidakberesan dalam pengerjaan proyek miliaran rupiah itu. Tim yang bertugas mengecek permukaan tembok menemukan keretakan hampir di setiap sudut bangunan, baik di dalam maupun di luar gedung.

Kebanyakan retakan terlihat pada permukaan yang merupakan pembatas antara tembok dan beton penyangga. Tim penguji bahkan sempat melontarkan pernyataan bahwa keretakan itu yang membedakan mana tembok mana cor beton. Sebab dua permukaan itu merenggang. Semen dan plamin tidak bisa menyatukannya.

Tebal keretakan itu beragam. Ada yang kecil tapi tidak sedikit pula yang menganga. Semua terlihat jelas dengan kasat mata. Lembar pengecekan kondisi permukaan dinding tembok menjadi penuh dengan catatan karena saking banyaknya keretakan.

Tim forensik juga mengeluarkan alat pengukur k ekuatan material. Bentuknya mirip alat ultrasonografi dengan dua bernedera mirip mik yang terhubung dengan kabel. Alat itu terhubung dengan sebuah benda berbentuk kotak seukuran tape mobil.

Seorang ahli mengolesi dua ujung mik itu dengan gel sebelum menguji sebuah beton penyangga yang berada di belakang gedung lantai tiga. Keduanya diletakkan di dua sisi yang saling berlawanan arah. Dari layar di kotak mungil itu, keluar angka yang menunjukkan kekuatan konstruksi. “Ini osteoporosis. Keropos,” ucap seorang ahli senior dilanjutkan dengan tertawa.

Ungkapan ahli itu membuat wajah PPK dan PNS kanwil kemenag Jatim yang ikut menyaksikan uji kualitas bangunan itu langsung berubah kecut. Senyum dari wajah mereka terlihat sangat dipaksakan. Ungkapan tersebut sangat menohok karena menguak hasil sebenarnya dari proyek yang mereka garap.

Tim ahli kemudian memeriksa cor beton penyangga di titik lain. Mereka mempersilahkan PPK menunjukkan titik yang akan diuji sesuai dengan keinginan mereka. “Jangan sampai nanti dikira kami yang sengaja memilih tempat yang begini (keropos,red). Silahkan bapak yang menentukan mana yang mau diuji lagi,” ucap seorang ahli teknik senior lainnya.

Abdul Hakim, seorang PPK, mengajak tim ahli beranjak ke cor beton yang berada di sudut gedung belakang sisi utara. Petugas memindahkan semua peralatan ke titik yang ditunjukkan. Tim kemudian membongkar permukaan tembok yang sudah dicat itu menggunakan palu.

Tak dinyana, tim ahli justru menemukan benda asing yang tertanam di dalam struktur cor beton tersebut. Temuan itu menarik perhatian sebagian besar ahli lainnya yang berada tidak jauh dari lokasi. Petugas yang membuka struktur beton akhirnya menemukan sebuah tripleks yang tertanam di dalamnya. Ukurannya lebih dari 10x10 sentimeter.

Pada saat bersamaan, terdengar dengusan tim ahli yang keheranan dengan temuan struktur tersebut. Mereka menyebut hal itu sangat tidak masuk akal. Ada kayu tertanam di dalam struktur cor beton yang merupakan penyangga gedung. Padahal kayu dan cor tidak bisa menyatu. “Ini sama (keropos,red),” ucap seorang tim ahli.

Pengujian berpindah ke lantai dua. Di sana, petugas membuka tembok menggunakan palu. Ketika memukulkan palu ke besi yang dibawa, permukaan tembok langsung mengelupas. Tim ahli mencolek permukaan itu dan langsung bisa mengambil kesimpulan. Intinya, komposisi semen dalam struktur tembok itu sangat minim.

Petugas kemudian meyakinkan keterangannya dengan mengusap permukaan penyangga dan langsung muprul. Bekasnya pun langsung terlihat di jari dan lantai yang terdapat onggokan serpihan material. Seharusnya, lanjut tim ahli, permukaannya padat seperti cor semen.

Di titik berbeda, petugas mengecek kondisi konstruksi bangunan yang terdapat retakan. Dari gambar perencanaan, terlihat ada kolom beton yang seharusnya menyangga konstruksi di lantai dua. Kolom itu yang menjadi penguat struktur bangunan lantai dua.

Tim ahli dibuat penasaran. Sebab, jika kolom itu ada, tidak ada retakan antara beton dan tembok. Hanya, untuk mengeceknya, terhalang eternit yang sudah tertutup. Petugas akhirnya memanjat tembok dan membobol eternit dengan menggunakan palu.

Dari sana lah, petugas akhirnya mendapat kepastian bahwa bangunan yang sudah jadi itu tidak sesuai dengan gambar perencanaan. “ Di gambar, ada kolom di sini. Tapi kenyataannya tidak ada,” ucap seorang tim ahli sembari menggoreskan pulpen di kertas catatannya.

Tim forensik juga menguji ketebalan struktur konstruksi lantai dua. Petugas mengebor lantai di teras gedung bagian belakang. Hasil bor itu yang nanti diuji di laboratorium teknik UB Malang untuk diketahui komposisi material dan ketebalannya. Hasil uji tersebut akan dicocokkan dengan dokumen pengerjaan proyek.

Petugas juga menemukan ketidaksesuaian spesifikasi sejumlah item bangunan. Salah satunya keramik. Jenis yang dipasang jauh dari sebutan berkualitas. “Ini jelas KW. Tapi, KW nya panjang,” ucap seorang jaksa yang terlibat dalam pengecekan bangunan.

Dia meyakinkan argumennya dengan menunjukkan sudut keramik yang tidak presisi. Pria yang saat itu berpakaian bebas tersebut menyebutkan, sesuai dokumen kontrak, seharusnya keramik yang dipasang nomor wahid. Pemasangan keramik itu juga asal-asalan. Jaksa menunjukkan jarak keramik yang lebarnya tidak sama dan tidak rata. Aparat penegak hukum itu menegaskan bahwa hasil tersebut tidak menunjukkan proyek itu dibiayai dengan anggaran miliaran rupiah.

Kondisi serupa ditemukan di gedung B. Petugas mendapati banyak keretakan yang cukup parah, baik di sisi dalam maupun di sisi luar. Di sana pun tim forensik mendapati struktur cor beton penyangga yang di bawah standar dan tidak sesuai dengan dokumen kontrak.

Bukan hanya itu, di lantai dua, penyidik menemukan lantai yang sudah menganga. Ketika diinjak, terdengar suara benturan keramik yang menggeretak. Yang menggelikan, lantai itu ternyata sedang diperbaiki. Padahal, usianya belum genap setahun. Di sisi tembok, terdapat onggokan semen dan plastik berisi serbuk nat plus alat-alatnya. Sekilas, bahan-bahan tersebut baru saja digunakan. Tapi tukang yang menerjakan terlihat kabur ketika melihat tim kejaksaan datang.

Kemenag, tampaknya, ingin memperbaiki kerusakan bangunan sebelum dicek kejaksaan bersama tim forensik. Dalam pengecekan sebelumnya, jaksa menemukan kerusakan lantai tersebut di dekat pintu masuk. Lantainya menganga. Ketika diinjak, keramiknya bergerak. Tapi ketika didatangi jaksa hari itu, kerusakannya sudah diperbaiki.

Di luar dugaan, kerusakan justru muncul di bagian tengah dan ujung dekat sisi sebaliknya. Kerusakannya semakin terlihat. Ada kepingan lantai yang terangkat dan memperlihatkan sisi di bawahnya yang berlubang.

Perbaikan dadakan tidak hanya dilakukan di lantai. Sebuah ristplang yang sebelumnya menjuntai karena terlepas juga sudah diperbaiki. Ada juga nat eternit yang sebelumnya terlihat retak dan ada bekas bocor. Ketika jaksa datang, kerusakan itu sudah diperbaiki. “Tapi tetap saja terlihat. Jenis catnya beda, terlihat ada bekas perbaikan,” ucap seorang jaksa.

Di gedung B itu, keretakan bangunan juga telrihat jelas. Kerusakan tersebut sangat kentara di lantai dua sisi luar. Sebab, permukaan tembok menganga dengan panjang lebih dari dua meter. Sama dengan gedung B, keretakan terjadi di konstruksi antara tembok dan cor beton.

KEMENAG: BUKAN PROYEK GAGAL BANGUN

Kanwil kemenag Jatim sebagai penanggung jawab proyek tersebut terus melakukan pembelaan. Mereka menyatakan proyek itu sudah berjalan sesuai aturan dan bukan termasuk proyek gagal bangun.

Abdul Hakim, pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek mess santri kanwil kemenag Jatim menyakan pembangunan dua gedung mess santri sudah sesuai dengan aturan. Semua prosedur sudah dilalui, tidak ada penyelewengan dalam pelaksanaan proyek. “Kami melaksanakan proyek dengan baik dan sudah sesuai aturan,” jelas Hakim saat ditemui di kantornya, Jumat lalu (12/12).

Menurut dia, saat penyerahan bangunan, pihaknya juga melakukan pengecekan dengan ketat. Ketika kontraktor menyerahkan proyek ke panitia penerima hasil pembangunan (PPHP), kemudian diserahkan ke PPK, dia tidak menerima secara mentah-mentah.

PPK melakukan cek kondisi bangunan dan berkonsultasi dengan konsultan untuk memastikan bahwa proyek itu berjalan sesuai prosedur. “semuanya sudah berjalan baik dan tidak ada yang salah,” katanya.

Setelah diterima PPK, gedung itu diserahkan ke kuasa pengguna anggaran (KPA). Yaitu kepala kanwil kemenag Jatim.

Terkait dengan kerusakan bangunan menurut Hakim, hal itu terjadi karena waktu pembangunan cukup singkat. Pembangunan dilakukan hanya dalam waktu empat bulan, September-Desember. Selain itu, saat pembangunan dilakukan, kondisi cuaca cukup panas sehingga memengaruhi fisik bangunan.

Kerusakan terjadi bukan karena material bangunan yang salah. Pria yang juga menjabat kasi kurikulum dan evaluasi pendidikan madrasah (Penma) kanwil kemenag Jatim itu menyatakan material yang digunakan seperti semen, pasir, batu, keramik, dan bahan yang lain sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan. Tidak ada yang dikurangi.

Menurut dia, kerusakan sebenarnya terjadi di luar masa pemeliharaan. Namun, kontraktor pelaksana masih mau bertanggung jawab dan melakukan perbaikan pada bagian yang rusak. Namun, ketika ada pemeriksaan dari tim forensik UB Malang bersama kejaksaan tinggi (kejati) Jatim, perbaikan itu dihentikan.

Rencananya kata Hakim, gedung bercat hijau itu digunakan sebagai tempat penguatan dan peningkatan kemampuan santri dan siswa madrasah. Selain mess, di dalamnya terdapat aula dan ruangan untuk laboratorium. Namun, ruang lab masih menunggu peralatan yang dibutuhkan sehingga belum bisa langsung digunakan.

Bagi siswa madrasah atau santri yang belum mempunyai lab yang memadai , mereka bisa datang dan melakukan praktikum di lab tersebut. Selain itu, pihaknya akan menggunakan salah satu ruang untuk pelatihan keterampilan. Misalnya, pelatihan menjahit dan tata busana.

Kepala Kanwil kemenag Jatim, Mahfudh Shodar menyatakan pembangunan mess santri itu dilakukan pada 2013. Saat itu dia masih menjabat kabid penma kanwil kemenag Jatim. Dia baru dilantik pada 20 Februari 2014. “Saat itu saya belum jadi kepala,” ucapnya.

Terkait dengan kondisi mess, dia masih menunggu hasil uji forensi yang dilakukan UB Malang. Dia tidak mau banyak berkomentar sebelum hasil forensik keluar. “Kita tunggu saja dulu,” terangnya. (Tim JP/IB)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun