Gubernur Jakarta ini memang mungkin paling menarik untuk dibicarakan. Dari berita positif, negatif, logis, sampai yang tidak masuk akalpun melibatkannya. Pikiran nakal saya pun jadi tertarik untuk berandai-andai bagaimana jika saya yang berada di posisi beliau. Sebelum Anda menilai terlalu jauh, tenang saja, saya tidak akan membela atau mengriktiknya di sini. Tulisan ini hanya usaha saya untuk meng-verbalkan ide liar yang ada di kepala semata. Andai saya jadi Jokowi, saya tidak mau dicalonkan jadi presiden. Alasannya, pertama, sejarah membuktikan bahwa presiden RI selalu mengakhiri masa jabatannya dengan 'tragis'. Tragis yang saya maksud memang tingkatannya berbeda-beda tapi, paling tidak, tidak ada presiden RI, yang pada akhir masa jabatannya, berakhir dengan nama harum.
1. Soekarno Dimanakah rakyatnya ketika mengetahui bahwa proklamator mereka dikudeta? Mengapa mereka diam ketika presiden pertama mereka yang juga membawa mereka keluar dari penjajahan dibuang ke pulau terpencil? Soeharto pun akhirnya digulingkan oleh rakyat, kenapa juga tidak digulingkan sesaat setelah kudeta terhadap Bung Karno? Mungkin memang rakyat itu mudah terpengaruh sehingga lebih percaya pada seorang jenderal yang belum terbukti jasanya ketimbang proklamatornya sendiri. Baru sejak merasakan bagaimana rasanya dipimpin oleh tukang cuci otak massal (yang mengakibatkan banyak orang Indonesia tidak tahu bedanya antara Atheis dan Komunis), rakyat kemudian kembali mengagung-agungkan nama Bung Karno. Kata Panbers, "terlambat sudah, terlambat sudah..."
2. Soeharto Kalau yang ini memang tak dapat disangkal berakhir dengan super tragis. Meski lolos dari jeratan hukum dan karena kesalahannya sendiri, tetap saja, akhir masa jabatannya cukup tragis karena diturunkan oleh rakyatnya sendiri dan, lagi-lagi, tidak ada yang membelanya. Mereka-mereka yang dulu dikasih makan dari duit haramnya pun kabur diam-diam, malah ada juga yang ikut-ikutan menudingnya.
3. Habibie Kurang jenius apa mantan presiden kita yang satu ini? Dengan banyak presiden RI lain yang dapat gelar pendidikan sebagai hadiah hiburan, alias honoris causa, cuma presiden ini yang benar-benar berjerih payah mendapatkan gelar-gelarnya sendiri. Meski dengan segala keputusannya yang menempatkan kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadi, tetap saja banyak pejabat dan orang-orang yang jelas lebih bodoh (paling tidak, setau saya, tidak ada orang yang mengkritik beliau yang bisa membuat pesawat terbang) menganggapnya tidak punya kapasitas sebagai pemimpin. Baru, bertahun-tahun kemudian, banyak orang latah mengagumi kemesraan beliau dengan istri tercintanya dan juga mengakui kejantanannya melepaskan kursi penguasa nomor 1.
4. Gus Dur Saya tidak bisa berbicara banyak soal Gus Dur karena saya takut emosi sendiri jadinya. Yang pasti, dialah presiden favorit saya. Kekurangan fisik dan gaya bicaranya yang 'nyeleneh' dijadikan kambing hitam. Keputusannya bercelana pendek di istana negara pun dikritik. Mungkin memang kita ini cenderung 'cinderella complex' yang berharap bahwa presidennya itu haruslah sang pangeran berkuda putih yang tampan, rupawan, gagah berani, sopan, tidak sombong, gemar menabung, rajin mandi, pandai memasak, dll. Bukankah presiden itu tugas utamanya membuat kebijakan dan mengambil keputusan? Kenapa harus dituntut punya fisik seperti atlit marathon? Toh, isi kepala cendekiawan muslim yang satu ini memang super layak menempati posisi itu... Lagi-lagi, baru bertahun-tahun kemudian, nama beliau dijunjung tinggi. Konyol rasanya ketika melihat pemakamannya dihadiri oleh lawan-lawannya yang dulu jelas-jelas mencacinya. Sok akrab, sok pasang muka sedih taek kucing. Konyolnya lagi, bahkan harus tunggu sampai wafat dulu, baru dia bisa disebut guru bangsa. WTF...
5. Megawati Nah kalau yang ini, saya memang tidak bisa banyak bicara karena tidak benar-benar mengikuti jejaknya. Tapi yang pasti, akhir jabatannya pun berakhir dengan namanya yang sedikit miring (yang kemudian disebut-sebut lagi belakangan dengan yang menggunakan hashtag melawan lupa).
6. SBY Saya masih ingat tahun 2004 ketika beliau jadi idola sejuta ummat. Sekarang? Entah kalau yang terjadi di lapangan (karena saya bukan dari lembaga survey), tapi, yang jelas di dunia maya, meme-nya yang bernada negatif bertebaran dimana-mana. Bahkan, mungkin dia lah yang mencetak rekor di sejarah dunia maya tentang presiden RI pertama yang masif aktif yang dijadikan meme negatif. Pada periode kedua atau terakhirnya ini, beliau dikritik habis-habisan mulai dari tidak tegas, kurang menghargai toleransi beragama, sampai ke politik koalisi, atau bahasa tenarnya 'dagang sapi'. Padahal menurut saya, bisa saja saya yang lupa, SBY sebenarnya tidak berubah sedikitpun - tidak bertambah baik ataupun buruk - dibanding pada saat periode pertamanya, bahkan gaya bicaranya saja juga masih sama. Hanya eforianya saja yang sudah tidak seheboh dulu dan rakyat yang dulu memilihnya pun jadi diam membisu ketika beliau dicerca dari berbagai pihak atau malah ikut-ikutan mencercanya. Istrinya yang canggung di dunia maya pun dikritik habis-habisan. "Kalau tokoh-tokoh besar sekaliber Gus Dur dan Soekarno saja berakhir tragis, kemungkinan besar, saya (yang masih berandai-andai jadi Jokowi) juga akan berakhir sama kalau memang menang Pilpres nanti. Untuk apa saya bela kepentingan rakyat, kalau, pada akhir masa jabatan saya, rakyat yang sama itu juga yang mencibir saya terang-terangan." Belum lagi, ini belum jadi presiden saja sudah banyak dituding yang macam-macam: pembohong, capres boneka, musuh bangsa, antek kapitalis pula - padahal sebenarnya semua orang yang bekerja dan menerima gaji juga sudah bisa dibilang antek kapitalis. "Saya sih malas saja dimusuhi banyak orang, apalagi salah satu orang itu punya kuda saja harganya Rp 3M dan punya helipad di halaman rumahnya - kurang sangar apalagi itu. Saya yang pengusaha menengah sih mendingan cari 'damai' saja..." "Di sisi lain, tetap jadi gubernur jauh lebih aman. Saya punya orang kepercayaan yang begitu loyal dan selalu membela macam Ahok. Belum tentu wakil presiden saya nantinya bisa sama loyalnya seperti dia. Kenapa juga saya harus bertaruh pada ketidakpastian ketika kepastian yang ada sekarang sudah menempatkan saya pada posisi aman. Lagipula, kalaupun untuk mengeruk keuntungan lebih dengan resiko minimal, saya bisa saja hanya jadi gubernur satu kali masa jabatan, kemudian kembali berbisnis kecil-kecilan. Tentunya, setelah 5 tahun jadi orang nomor 1 di Jakarta, saya bisa mengantongi sejumlah nama pengusaha ataupun pejabat yang juga sekaligus pengusaha untuk jadi relasi bisnis ketika saya kembali ke Solo. Dengan cara itu, saya bisa meningkatkan omset 3x lebih besar, dengan sangat mudah dan tanpa resiko besar. Memang, keuntungan yang didapat jadi presiden bisa jadi lebih besar tapi harga dan resiko yang mungkin harus ditanggung pun jauh lebih berbahaya. Saya tidak perlu repot mengurus ribuan masalah negara super kompleks dan saya bisa bersantai di rumah bersama keluarga tersayang tanpa kekurangan." Untungnya sih, saya ini bukan Jokowi. Saya cuma om-om jarang mandi yang punya pikiran ngawur. Entah apa yang jadi alasan dan tujuan Jokowi sebenarnya ketika beliau mau ditunjuk jadi capres - saya tidak akan berprasangka negatif ataupun positif - tapi yang jelas, saya sih tidak mau. Resiko dan harga yang harus ditanggung, tidak sepadan dengan hasil yang mungkin saya dapatkan. Jakarta, 18 April 2014
KEMBALI KE ARTIKEL