Pemandangan yang memilukan itu kulihat dari depot di pinggir jalan. Sambil menyedot es kelapa yang ada didepanku, tatapanku tak beranjak dari gerak-gerik bapak itu. Dia berjalan sambil membawa karung besar yang dipanggul di bahunya. Beratnya karung membuat badannya sedikit membungkuk. Hatiku miris melihatnya, bapak itu adalah salah satu dari sekian banyak orang yang kurang beruntung di muka bumi ini. Kuambil buku kecil dan pulpen dari dalam tas, hobiku menulis rasanya harus disalurkan saat itu. Sejenak aku terdiam, sesaat kemudian langsung kugoreskan kata demi kata yang terbalut menjadi sebuah puisi di atas buku kecil itu.
Tanganku berhenti menulis, aku kembali terdiam sejenak dan kemudian dengan mata berbinar kutuliskan judul untuk puisi itu, “Rona Kegetiran”. Langsung kubereskan buku dan pulpen itu ke dalam tas. Dengan sedikit buru-buru, kubayar es kelapa tadi dan langsung ke arah parkiran untuk mengambil motorku. Aku langsung menjalankan motorku menyusul bapak itu. Tentu saja aku dapat dengan mudah menyusulnya karena bapak itu hanya berjalan kaki. Bapak itu sedang memunguti sampah di tempat penampungan sampah. Aku pun berhenti di dekat bapak itu. Sambil tersenyum, bapak itu berbicara kepadaku,
“Lempar saja Nak sampahnya.” Ternyata bapak itu mengira aku ingin membuang sampah.
“Tidak Pak, saya ke sini karena ingin memberikan ini kepada Bapak,” sahutku sambil memberikan selembar uang senilai dua puluh ribuan. Bapak itu melongo, namun sejurus kemudian senyum mengembang di bibirnya.
“Alhamdulillah, terima kasih Nak.” Ada tetes bening di sudut mata Bapak itu.
“Sama-sama Pak, semoga itu cukup untuk makan Bapak dan keluarga hari ini.”
“Ini sudah lebih dari cukup Nak, bahkan penghasilan Bapak selama 4 hari saja tidak sampai sebanyak ini. Bapak bersyukur karena masih ada pemuda sepertimu. Seandainya anak bapak juga sepertimu,” ucapnya sambil mengusap air matanya.
“Memangnya ada apa dengan anak Bapak?” rasa penasaranku keluar.
“Dia tidak bisa menerima keadaan keluarga kami yang serba kekurangan. Dia ingin seperti teman-temannya yang hidup layak dan selalu menuntut kepada orang tua,” wajahnya terlihat begitu sedih saat mengucapkan hal itu. Aku jadi sedikit tidak enak karena telah lancang bertanya demikian.
“Saya turut prihatin dengan sikap anak Bapak, semoga Bapak senantiasa diberikan ketabahan dan semoga Allah menyadarkan anak Bapak itu.”
“Amin, terima kasih Nak. Semoga Allah selalu melindungimu.”
“Amin, sama-sama Pak. Maaf, saya harus pergi sekarang. Assalamu ‘alaikum.” “Waalaikumsalam.”
Aku pun memacu motorku dan tanpa terasa air mataku menetes di balik kaca helm. “Ya Rabb, jika ayah masih hidup, sungguh aku tidak akan membiarkan beliau bekerja seperti itu,” batinku.
***
6 bulan kemudian…
Setelah jam kuliah berakhir, aku menuju rumah karena ada sesuatu yang ingin kuambil sebelum mengikuti acara seminar siang ini. Aku adalah seorang yatim piatu. Aku hanya tinggal sendiri karena aku adalah anak tunggal. Aku menolak saat diajak tinggal di rumah keluarga ibu maupun ayah. Karena bagiku, keadaan ini akan membuatku mandiri dan lebih tegar dalam menjalani hidup. Aku tak habis pikir, mengapa masih ada saja orang yang menuntut ini-itu, padahal orang tuanya tidak sanggup untuk memenuhinya. Mereka sama sekali tidak mensyukuri bahwa masih ada orang tua yang melindungi mereka. Tiba-tiba ada suara seseorang yang memanggilku.
“Fadlan!” aku pun menghentikan motorku. Ternyata yang memanggilku adalah Satria. Orang yang baru beberapa bulan ini aku kenal. Dia sering ikut pengajian di mesjid kampus, walau ia tidak berkuliah di sini. Sejak itulah kami menjadi semakin akrab. Satria adalah orang yang sangat baik dan rajin.
“Hai Sat, ada apa nih?” ucapku sambil menepuk pundaknya.
“Apakah setelah ini kamu ada agenda? Ada sesuatu hal yang ingin kubicarakan.”
“Apakah hal itu mendesak? Setelah ini ada seminar yang harus aku hadiri.”
“Oh, tak apa. Kalau begitu besok saja di mesjid kampus. Sama sekali tidak mendesak kok.”
Setelah mengucapkan salam, ia pun pergi. Ia menolak saat aku menawarkan diri untuk mengantarnya ke bengkel, tempat ia bekerja. Ia khawatir aku akan telat ke seminar karena mengantarkannya. Allah belum mengizinkannya untuk memiliki motor. Saat kemana-mana, ia hanya berjalan kaki atau sesekali memakai sepeda yang ia pinjam dari bosnya. Aku sungguh sangat kagum dengan semangat hidupnya. Ia juga tak pernah sungkan untuk belajar ilmu agama.
***
Keesokan harinya, kami kembali bertemu di mesjid kampus. Aku jadi penasaran sendiri dengan apa yang ingin dibicarakan oleh Satria. Ia duduk menungguku sambil membaca buku. Aku pun menyalaminya dan ikut duduk di hadapannya.
“Aku ingin berterima kasih padamu, Fadlan,” ucap Satria membuka pembicaraan.
“Terima kasih untuk apa?” sahutku yang memang belum mengerti apa yang dimaksud oleh pemuda ini.
“Tanpa kamu sadari, kamu telah banyak merubah sifat burukku. Melalui dirimulah Allah menyelamatkanku dari keterpurukan.”
Aku hanya diam sambil menunggu kata-kata yang keluar dari bibir Satria.
“Apakah kau ingat dengan seorang bapak yang kau temui 6 bulan lalu? Seorang bapak yang dengan wajah letihnya memunguti sampah di jalanan. Seorang bapak yang dengan gembiranya karena memperoleh uang darimu,” Satria terisak. Ia seakan tak bisa lagi membendung kesedihan yang sepertinya begitu memuncak.
“Ya, aku ingat. Masih terekam dalam ingatanku bagaimana wajah bapak itu. Ada apa Sat? Bagaimana kamu bisa mengetahui semua ini?” sahutku sambil memegang bahu Satria, berusaha menenangkannya.
“Bapak itu adalah ayahku,” Satria menunduk menahan tangisnya.
Tenggorokanku tercekat, terasa sulit menelan ludah.
“Ya, bapak itu adalah ayahku. Ayah yang selalu bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Ayah yang begitu sabar dengan hidup kami yang serba kekurangan. Namun apa yang telah kulakukan Fadlan? Aku malah memaki-makinya dan tak henti-hentinya menuntut kepadanya agar keinginanku terpenuhi. Aku sama sekali jauh dari agama saat itu. Saat ayah mengingatkanku tentang salat, tapi aku malah mengacuhkan dan memarahinya.” Satria menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kulihat bahunya berguncang. Kubiarkan dia menumpahkan bebannya lewat tangis itu.
Tak beberapa lama, Satria melanjutkan, “Tapi, sejak ayah sakit, aku jadi sadar, aku begitu menyayangi ayah. Aku tidak ingin kehilangannya. Aku jadi sadar kalau semua yang kulakukan selama ini ke ayah adalah sebuah kesalahan besar. Aku meminta ampun dan mencium tangannya. Dan dengan mudah dan tulus ia pun memaafkanku. Di malam hari sebelum ia meninggal, ia bercerita tentang pertemuannya denganmu. Ia ingin sekali aku belajar banyak hal kepadamu. Oleh karena itu, aku mencarimu dan akhirnya ikut pengajian di sini bersamamu.”
“Aku turut berduka atas meninggalnya ayahmu, Sat. Tapi, bagaimana kamu bisa tahu kalau pemuda yang bertemu dengan ayahmu itu adalah aku?”
“Sejak hari itu ayahku sangat kagum padamu. Ia tahu kau kuliah di sini dari jas almamater yang kau gunakan saat itu. Ia berusaha mencari tahu tentangmu dan akhirnya mengetahui kalau namamu adalah Fadlan. Tidak sulit juga bagiku untuk menemukanmu, karena memang kau cukup dikenal di kampus ini. Sekali lagi, terima kasih Lan, kau sudah mau menerimaku apa adanya dan membuatku jauh lebih baik sekarang.”
“Aku tidak melakukan apa-apa, Sat. Semua dapat berubah karena Allah memberikan kesempatan padamu dan karena kamu memiliki tekad kuat untuk berubah.”
“Kau orang yang sangat baik Lan. Maukah kau melakukan sesuatu hal untukku?”
“Tentu saja jika memang aku bisa melakukannya.”
“Jika berkenan, aku ingin kamu berkunjung ke makam ayahku. Dia pasti sangat senang jika demikian.”
***
Sore itu angin bertiup kencang. Menyapu dedaunan yang jatuh di tanah. Dua pemuda tengah duduk di depan sebuah nisan. Terlihat bibir mereka bergetar melantunkan surah Yasin.
“Kini aku begitu yakin dengan keutamaan sedekah,” ucap pemuda yang bernama Fadlan setelah bacaan mereka usai.
“Ya, sekecil apapun kebaikan yang kita lakukan, akan banyak perubahan ke arah kebaikan yang terjadi. Oya, aku merasa sekarang ayah sedang tersenyum karena melihatmu di sini bersamaku.”
“Ya, dia tersenyum, juga karena kau sudah berubah sekarang.”
“Oya, aku baru ingat kalau aku sempat membuat puisi untuk ayahmu di hari itu.” Sambung Fadlan lagi.
“Benarkah?”
“Ya, puisi sederhana yang tiba-tiba saja terlintas di otakku.”
“Apakah kau masih ingat dengan isinya? Ayo, bacakanlah!”
RONA KEGETIRAN
Hati terkesiap melihat sosok itu
Uban dan keriputnya tlah menghampiri
Ia berjalan penuh kegetiran
Demi sesuap nasi
Hati terenyuh penuh iba
Jika ia ayahku, tak kubiarkan semua ini
Tak sempat nikmati masa tuanya
Hidup terasa pahit baginya
Cahaya kegembiraan terpancar
Saat tadahan tangan itu berbalas
Walau tak seberapa
Namun, begitu berarti baginya
***The End***