Bagaimana ya. Itulah yang memang terjadi dari dulu sampai sekarang. Rok sependek ini dan baju seketat ini bukanlah gaya berpakaian semua orang. Berani memakai rok pendek artinya berani memamerkan kaki yang bagus. Berani pakai baju ketat, artinya punya badan yang sehat dan seksi. Kaki yang bagus dan badan yang seksi cuma cocok untuk wajah yang enak dilihat. Tidak usah cantik natural, cantik bisa dibentuk. Mainkan saja rambut dan gaya menyisir dan sedikit bedak. Perilaku juga. Anggun sedikit, tertawa menyenangkan, ramah. Jadilah cantik. Bukan apa-apa, ini soal rasa estetika Lalu suatu hari datang itu anak kelas satu merusak tatanan rok pendek bajut ketat. Kata orang sirik dan kritis beda tipis. Tapi ini keterlaluan. Datang-datang berani-beraninya bergaya macam ini. Rok pendek baju ketat. Mau ngapain sih dia? Sok cantik pula. Dan itu kelakuannya benar-benar mirip pecun. Semua laki laki disenggol, ketawanya membuat telinga panas. Sok manis. Dan berani-beraninya dia menerima ajakan diantar pulang dari senior kelas tiga. Manja Kami semua sepakat. Si anak kelas satu itu ga tahu bersikap. Baru kelas satu lagaknya sudah kayak ratu. Rok pendek dan baju ketat bukannya sembarang bisa dipakai ya. Harus diimbangi dengan mental yang sesuai. Kalo mental pecun kayak dia? Bikin malu aja. Kami semua sepakat. Pulang sekolah dia harus digiring ke warung Mak. Kelakuan seperti itu butuh dididik. Bisa-bisa kalau dibiarin, nanti kelas tiga jadi pecun beneran. __ Ini sudah tradisi. Kelas satu ditindas, kelas dua menjajah, kelas tiga jadi raja. Kalau dulu kelas satu aku ditindas karena dianggap menonjol sendiri, sekarang waktunya re-generasi. Biasanya belum bisa terlalu macam-macam, paling jauh hanya menggencet dengan omongan. Yang paling berbahaya adalah si kelas satu yang memiliki saudara kelas tiga, kita harus pintar-pintar memilih mangsa, kalau tidak mau jadi senjata makan tuan belakangan. Aku sendiri tidak terlalu suka bermain dengan kata-kata, ribut ala wanita. Ah, menurutku itu percuma. Aku lebih sering gabung dengan anak kelas tiga, merokok di samping sekolah, atau bolos ikut tawuran dengan SMA sebelah. Kalau ada cowok kelas satu yang coba-coba pacaran dengan anak kelas dua atau tiga, baru jatahku untuk memberinya pelajaran. Itu, lagi. Tengil sekali, berani-beraninya dia menggoda si idola sekolah. Sementara seluruh kelas tiga dan kelas dua berlomba-lomba menjadi pacarnya, si anak kelas satu itu dengan polos dan tidak tahu diri mengajaknya pulang bersama. Tentunya hanya mendapat cibiran dari sang idola bercitarasa putri muda. Malu? Itu belum cukup adikku, sepukul dua pukul harus mampirlah ke pipimu. Kenapa aku? Kenapa bukan mereka para laki-laki? Karena mereka tidak tahu kapan harus berhenti. Mereka belum bisa membedakan antara memberi pelajaran dengan berkelahi. Hey, kediktatoran senioritas itu termasuk seni! __ Sebenarnya saya bingung sama kelakuan mereka-mereka itu. Apa yang salah? Sebentar, seragam tidak terlalu ketat. Rok juga tidak pendek, risih kalo terlalu mini. Oh mengerti sekarang. Jadi yang salah itu ada pada warna kulit, rambut, tinggi badan dan wajah. HEY! Saya bisa apa dengan ini semua? Harus protes dengan Sang Penciptanya? HAH. Bodoh kalian. Terus apalagi? Salah kalau lelaki itu mendekati. Harusnya kalian bukan mengatur saya, atur lah lelaki-lelaki centil itu. Jangan suruh menggoda saya. Senyum salah, menebar pesona katanya. Tidak senyum dibilang sombong, belagu dan sok. Berprestasi sedikit dibilang sok eksis. Dekat dengan guru dibilang cari muka. Berteman dengan beberapa orang dibilang sok eksklusif. Apa yang dipakai dari ujung rambut hingga ujung kepala selalu jadi masalah. Senioritas itu absurd. Seabsurd rasa sirik mereka. Iri? Kalau kita iri kita tidak harus mendengki. Akui, hargai dan jadikan itu motivasi. Bukan malah jadi alasan untuk mem-
bully. -- Senioritas itu realita. Terjadi di seluruh Indonesia, malah mungkin dunia. Tapi justru karena itu lah putih-abu jadi demikian istimewa. Bodoh, belajar dan menjadi pintar. Tanpa senioritas di sekolah, menjadi kelas dua dan kelas tiga akan terasa sangat biasa walaupun seharusnya iri bukan jadi alasan utamanya. ataukah ini hanya realita kesenjangan atas dasar persamaan rasa?
KEMBALI KE ARTIKEL