Desa bagiku adalah kehidupan religius. Mendengarkan adzan mahrib paling menenangkan adalah saat di desa. setelah mahrib, para anak-anak dan remaja menghidupkan surau. Mereka mengaji, setelah itu bermain seadanya dengan sarung di dalam surau, jika beruntung kita bisa lolos dari kejaran pak kyai yang siap-siap mendaratkan telapak tangannya di pantat kita keras-keras karena bermain didalam surau.
Bagi anak-anak desa, musim hujan maupun musim kemarau mempunyai agenda bermain yang berbeda. Jika musim kemarau, lapangan sepakbola dipindah ke sawah setelah panen kacang, mencari jangkerik, ngunda layangan, dan sebagainya. Jika musim hujan, mencari ikan di kalen (selokan sawah) sekalian berenang, jika sedang sial kita akan bertemu dengan sesuatu yang menjijikan, lembek, bau, mengapung mengikuti arus air. Selain itu mencari ikan saat sawah mulai di bajak, dan permainan lainnya. Permainan yang murah meriah namun tak kalah bahagianya dengan bermain console. kebahagiaan yang sungguh-sungguh nyata, atraktif dan membuat saya selalu rindu akan desa saya.
Kehidupan desa yang relegius itulah yang bisa membangun karakter seseorang. Tapi sayang, ada beberapa orang yang tidak bangga mengaku orang desa saat mereka menyentuh kehidupan kota. Bagi saya, identitas sebagai orang desa jelas membuat kontrol yang baik bagi saya saat melihat kehidupan gemerlap kota besar. Saya menghindar untuk tidak boros karena merasa saya hanya orang desa, tidak perlu bergaya mewah karena saya hanya orang desa. Dan yang saya butuhkan adalah prestasi yang gemilang, pekerjaan yang baik, karena biarpun saya orang desa namun saya mampu berprestasi dan mampu bermimpi.