Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen: Pesan Terakhir

12 Februari 2021   06:19 Diperbarui: 12 Februari 2021   06:22 352 13
Semilir angin menerpa pohon-pohon karet yang berjejer  rapi memenuhi perkebunan milik seorang Tionghoa. Para buruh tengah sibuk mengambil lateks--getah yang keluar dari batang karet--dengan semangat. Celoteh-celoteh riang para lelaki itu seperti bumbu yang melengkapi banjir peluh yang membasahi tubuh mereka. Tak ada lelah yang tampak. Padahal upah mengambil lateks yang disetorkan kepada mandor tak seberapa harganya.

Salah seorang pekerja tampak selesai menyerahkan ember besar berbahan alumunium berisi cairan kental putih kepada mandor yang menunggu di dekat tangki pengumpulan lateks. Setelah ditimbang dan dicatat, pria berusia tiga puluh tahunan itu berjalan dengan gontai. Benaknya masih digelayuti bermacam pertanyaan.

Kertas putih berisi pernyataan pemutusan hubungan kerja baru saja dia terima dari kepala bagian karyawan pabrik. Memang bukan hanya dirinya yang menerima. Separuh buruh lateks terkena PHK besar-besaran. Desas-desus yang ramai terdengar, sejak harga karet dunia turun. Pabrik lateks tempatnya bekerja terancam gulung tikar. Sedangakan buruh yang banyak harus dibayar sesuai upah yang telah disepakati. Namun, setelah pendapatan pabrik turun drastis, pabrik pun memilih opsi PHK sebagian buruh sebagai pilihan terbaik.

***
Tubuh Mira masih tergolek tak berdaya. Napasnya terlihat naik-turun. Tetangga datang menengok tampak ikut bersedih. Dari raut mukanya mereka masih larut dalam duka melihat tragedi memilukan yang menimpa perempuan muda itu. Perutnya tampak buncit menjadi pertanda jika perempuan itu kini sedang berbadan dua.

***

Dersik berembus lembut seolah mengantarkan irama lirih. Kabut pun enggan beranjak dari singgasananya di lembah tempat peristiwa maut kemarin terjadi. Tebing pasir tempat penduduk mengais rejeki setiap hari telah merenggut korban.

Hujan yang mengguyur hampir seminggu menyebabkan longsor  dadakan dari puncak tebing setinggi 700 meter. Tempat penambangan pasir alam terbesar di kampung itu telah mengubur hidup-hidup puluhan penambang pasir ilegal.

 Sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan larangan kepada warga. Namun, sebagian warga yang tak punya lagi pekerjaan, terpaksa mengambil resiko bertaruh nyawa demi sesuap nasi. Memang terkadang manusia melupakan bahaya yang mengintai hanya untuk mencukupi kebutuhan ragawi belaka. Seperti halnya Wahyu--suami Mira--yang terkena PHK dari pabrik lateks, kini menghilang tertimbun longsor.

***
"Neng, A-akang ... dipecat ....." Pria bertubuh kurus itu tersendat mengungkapkan apa yang baru dialaminya.

"Uhuk! Apa, Kang? Dipecat!" Mira tersedak seketika. Nasi yang baru saja masuk dari tangannya seketika berhamburan. Wajah manis itu berubah pucat pasi.

"Iya, Neng. Nasib kita sedang jelek. Pabrik terancam bangkrut, dan kami kena imbasnya," lirih Wahyu. Matanya tampak berkaca-kaca memberikan surat PHK kepada sang istri.

Pikirannya sungguh kalut mengingat Mira kini berbadan dua. Taksiran tanggal persalinan sudah dekat. Dapat dibayangkan biaya yang akan dibutuhkan untuk menyambut si kecil lahir. Belum lagi untuk membeli peralatan dan baju, ditambah kenduri tasyakuran akikah

"Neng, maafin Akang, ya. Akang akan coba kerja serabutan untuk biaya persalinan kamu nanti," ungkapnya sambil meraih jemari Mira, "Akang dengar dari tetangga, kalau kuli tambang pasir di bukit seberang kampung cukup besar upahnya," lanjutnya berusaha menenangkan sang istri.

"Kang ... kuli tambang pasir itu penuh risiko. Neng takut a--"

"Sudah! Yakinlah kepada Allah. Apa pun pekerjaannya. Asal itu halal, Akang akan tetap lakukan demi keluarga kita. Doakan saja, biar semuanya lancar, Neng." Wahyu menempelkan telunjuknya di bibir Mira. Ia tahu risiko pekerjaan barunya begitu besar. Namun, untuk saat ini, hanya kuli tambang pasirlah pilihan yang terbaik untuknya.

***

"Kang Wahyu ...." Suara lirih Mira terdengar berat.

Matanya sembap, kantung kehitaman tampak menggelayuti bagian bawah mata bulatnya akibat tangis yang tak henti sejak kemarin. Perempuan yang sudah sepuluh bulan dinikahi Wahyu--pemuda miskin dari kampung sebelah--kini menatap kosong, hidupnya semakin hampa.

"Ayo, diminum dulu, Neng!" Seorang wanita tua menyodorkan sebuah gelas berisi air putih. Mira hanya menggeleng lemah.

"Aku ingin ikut dengan Kang Wahyu!" teriaknya mengagetkan tetangga yang sejak tadi berkerumun.

"Istighfar, Neng! Ikhlaskan suamimu pergi." Wanita tua itu memeluk Mira. Hatinya begitu pilu menghadapi kenyataan yang begitu pahit diterima sang putri.

Mira meronta-ronta seperti orang kesurupan.

"Lepasin aku, Mak. Aku ingin nyusul Kang Wahyu!" Mira kembali berontak. Sejak kemarin dirinya sudah beberapa kali tak sadarkan diri.

***

Sore itu Wahyu bersiap dengan bekal di tas lusuhnya. Isinya nasi timbel, ikan asin, dan sambel terasi. Menu harian yang selalu setia menemani bekerja.

Hujan masih mengguyur dengan deras diiringi petir yang saling menyambar. Sementara Mira--istrinya yang sedang mengandung 9 bulan--tampak cemas.

"Kang, tak usah berangkat, ya. Hujan dari pagi belum reda, aku takut ditinggal sendirian," gumamnya seraya menahan langkah Wahyu.

Ada sebersit kekhawatiran yang muncul di benaknya. Entah mengapa perasaan itu makin membuncah dalam dada.

"Akang udah biasa hidup begini, Neng. Kalau Akang diam di rumah, kita makan apa?"

"Iya, tapi ... hari ini saja Akang gak usah pergi. Kan, ada waktu lain Kang." Tangan Mira meraih jemari kokoh milik suaminya.

Wahyu bergeming untuk sejenak. Namun, seulas senyum kini terukir. Seolah memberikan keyakinan kepada wanita itu agar melepasnya berjuang mengais rejeki.

***

Mira menatap punggung suaminya yang kian hilang ditelan derasnya hujan. Hatinya berdebar tak keruan. Tak henti mulutnya merapal doa sambil mengelus perut yang makin membuncit. Satu tetes hangat jatuh di pelupuk mata, mengingat nasib yang harus dijalani begitu getir.

***

Malam itu hujan makin lebat diiringi halilintar yang bersahutan memekakkan telinga. Mira hanya bisa melamun di atas ranjang tua, mulutnya tak henti melantunkan doa, memohon keselamatan kepada Sang Pencipta.

Malam adalah waktu di mana para penambang pasir liar beroperasi. Mereka mengais rejeki dengan risiko cukup besar. Longsoran tebing terowongan galian pasir adalah hal yang tak aneh lagi bagi mereka. Semua risiko itu tak lagi horor. Bagi mereka yang lebih menakutkan adalah melihat keluarga yang kelaparan.

***
Matahari telah beranjak dari peraduan. Burung-burung mulai keluar sarang mengepakkan sayap nan gemulai mencari isi perut. Nyanyiannya terdengar riang mengisi pagi yang cerah selepas sehari semalam diguyur hujan. Namun, suasana  berbanding terbalik dengan keadaan di kampung. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun