Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Tentang Elegi Takdir

8 Januari 2021   19:43 Diperbarui: 8 Januari 2021   19:50 228 6
Gambar; Fanspage Wanita BerhijabBunyi klakson dari deretan mobil yang berjejal saling berlomba paling nyaring, sopir-sopir makin meluap kekesalannya menghadapi kemacetan yang sudah tiga jam berlangsung.

Wajah bersimbah peluh itu melambaikan tangan ke arahku, "Hai ...! Maaf, udah nungguin lama," serunya di antara bunyi klakson.

Napasnya tersengal setelah menyibak deretan mobil yang mengular, pemuda berwajah oriental itu kini tersenyum di hadapanku," Sorry ...." Tangannya membentuk huruf V.

"Gak apa-apa, kok, lagian macet kota Ciawi memang udah menggila."

"Rima, kamu beneran mau nemenin aku?" Matanya menatapku tajam, mata sipit yang menurutku mirip mata milik Rain-- aktor korea yang gantengnya overdosis.

"Iya, ayo! Bentar lagi makin panas, nih."

"Ok, makasih, ya, Ri ...."

"Sama-sama, Yusuf."

Akhirnya kami duduk di sebuah bus. AC yang berembus dalam volume full pun tak membuatku nyaman, bukan. Bukan karena terlalu gerah, tetapi jantungku mendadak berdegup melonjak-lonjak. Tenggorokanku seketika kering.

Tiba-tiba jemarinya menumpu di atas tanganku, sebuah sensasi aneh pun mengalir deras di tubuhku.

"Ri ..., kasian Kakak," ucapnya bergetar, "seharusnya dia udah punya keluarga sekarang, tapi...," Yusuf berhenti, ada keresahan yang membuncah di pelupuk matanya.

***
Lorong-lorong rumah sakit itu dipenuhi beberapa pengunjung, tetapi sebagian besar adalah pasien dengan gangguan mental akut. Kami menyusuri lorong bercat putih, dari kejauhan tampak seorang pemuda yang sebenarnya memiliki wajah tampan, tapi tak terurus. Sedikit janggut kini tergerai seperti rambut jagung.

"Kakak ...!" pekik Yusuf, terdengar begitu riang.

Aku terpaku melihat Yusuf memeluk seorang pasien rumah sakit yang tampak acuh.

"Dia kakakku, Ri. Sudah setahun dia di sini, sejak kematian calon istrinya akibat kecelakaan tunggal tahun lalu."

"Aku turut berduka--" Suaraku tercekat, rasa iba kini menggelayuti benak.

Yusuf adalah teman seangkatan di kampus, dia berbeda jurusan denganku, sejak masuk kampus, mata ini selalu terpaku melihatnya bernyanyi di ujung taman ditemani gitar kesayangannya. Dia mahasiswa jurusan seni, sedangkan aku mahasiswi jurusan sastra.

Aku tak memiliki keberanian mendekatinya. Hingga suatu hari aku memenangkan kontes puisi yang kemudian dia aransemen menjadi sebuah lagu.

Sejak itulah kami dekat, walaupun dia belum mengatakan apapun tentang perasaannya tetapi aku bahagia bisa dekat dengan Yusuf.

"Rima! Ngapain kamu disini?" Sebuah suara yang sangat kukenal kini memanggil.

"Kak Dimas?"

"Iya, ngapain kamu di sini?"

"Anu, Kak. Aku ... nganterin temen."

Aku menunduk, Kakak menarik lenganku.

"Kakak tau, kamu lagi deket dengan pemuda itu. Ayo, jujur!"

"Dia cuma sahabat aku, Kak!"

"Rima, kamu itu adik aku! Aku tau mana teman dan yang mana teman spesialmu."

"Kakak ...."

"Ayo pulang, Kakak yang akan nganterin kamu!" pekik Kakak menarik lenganku, tetapi aku melepaskannya berlari ke arah Yusuf.

"Sorry! Aku harus pulang duluan, ya."

Aku menunduk tak kuasa memandang manik mata hitam miliknya.

"Tapi kenapa?"

"Kakakku! kebetulan dia sedang melakukan penelitian di sini. Aku gak bisa melawan dia."

"Ya udah, kita ketemu di kampus besok." Yusuf tersenyum menatapku dengan lembut.

***
Akhirnya aku pulang, Kakak marah besar melihatku dekat dengan Yusuf yang mempunyai seorang kakak penderita sakit jiwa.

"Jauhi dia! Atau Ayah akan memindahkan kuliahmu. Rima!" bentak Kakak, bagai petir yang menyambar di siang bolong.

"Ayah sudah punya calon yang terbaik untukmu, ayah hanya ingin kamu menikah dengan Ardika Maheswara, putera dekan kampus kita yang kini kuliah di Australia."

Genangan air mata yang sedari tadi kutahan kini tumpah membanjiri setiap inci lekuk pipiku. Aku baru mengenal arti cinta pertama kepada Yusuf.

Arghh ....! Tuhan, mengapa kau ciptakan jalan yang lain untukku?

Batin ini kian meradang menghadapi kenyataan pahit ini.

Yusuf memang pemuda biasa, dari keluarga sederhana. Tetapi kemandiriannya meraih cita-cita membuatku kagum, dia sosok yang sangat cerdas dan ramah kepada semua orang, membuat dia begitu cepat dikenal di kampus.

***
Hari itu aku melambaikan tangan terakhir kalinya kepada Yusuf. Ya, aku berpisah dan orangtuaku memilih memindahkan kuliahku. Hidupku memang sudah terlampau kaku dengan aturan. Ayahku yang nota bene seorang pejabat, selalu mengekangku dengan berbagai aturan, begitupun kakak yang sudah menikah dengan cara dijodohkan. Akulah pelestari kebiasaan 'sakral' yang sangat memuakkan itu sekarang.

Aku akan selalu mengenang Yusuf di palung terdalam hatiku, walau aku mungkin tak akan pernah bertemu dengannya lagi. Dia telah mengajarkan arti kehidupan sesungguhnya kepadaku.

END

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun